Mohon tunggu...
Agus Setyadi
Agus Setyadi Mohon Tunggu... -

Anak kampung yang sedang belajar menjadi seorang penulis, dan sekarang menetap di Banda Aceh.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dikejar Anjing Pak Tentara

11 November 2014   20:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:04 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto : kumpulantausiyahislam.blogspot.com/

Lonceng sekolah tanda pulang berbunyi tiga kali. “Ting… ting… ting…”. Gw waktu itu masih duduk di bangku kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) langsung aja ambil tas dari balik kolong meja. Tas sudah di bahu pertanda gw siap take off dari ruang sekolah yang berantakan.

Usai bersalaman sama ibu guru tua yang cantik bingit, eh jangan salah paham dulu dong, ibu guru yang ngajar gw memang bener-bener cantik lho. Tapi waktu dia masih gadis, kalau sekarang lo bisa ngebayang sendiri kan gimana nenek-nenek. Gw bersama tiga teman memilih pulang jalan kaki. Padahal gak ada sepeda, sssttttt.

Ilustrasi. Foto : kumpulantausiyahislam.blogspot.com/

Seperti biasa, gw menyusuri jalanan aspal untuk pulang menuju rumah yang berjarak sekitar 1 kilometer. Hari itu, cuacanya  lumayan cerah dan saking cerahnya lembu saja harus minta maaf gak sanggup berada di jalan. Tapi karena masih kecil, gw gak peduli panas asal sampai ke istana yang berada di ujung desa.

Banyak topik yang gw bahas selama dalam perjalanan mulai dari strategi main mobil mainan dari pelepah rumbia, mandi sungai dicium lintah dan masih banyak lainnya. Karena waktu itu gw masih kecil dan ganteng (sekarang masih tetap ganteng juga kok kalau dilihat dari ujung menara Masjid Raya Baiturrahman),  topik pembahasannya ya seputar itu-itu saja lah. Belum gaul.

Setelah 10 menit berjalan di pinggir jalan yang sunyi dari lalu lalang kendaraan, gw tiba di pasar tak jauh dari rumah. Di sana, ada banyak pak tentara mengenakan seragam loreng lengkap dengan senjata, iihhh takut. Mereka sedang berbelanja. Suasana mencekam seperti di film perang Vietnam. Ya elah pake-pake seperti lagi, memang tengah perang hai gam (gam di sini berarti anak laki-laki ya, bukan orang GAM).

Oya gw hampir lupa, waktu itu memang masih terjadi konflik antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia. Ribuan bapak-bapak tentara yang baik hati, ada yang berani bilang pak tentara jahat-jahat? Pak tentara itu sebenarnya baik lho, tapi kadang sepatunya aja yang bandel suka nempel di kepala orang. Selain tentara, polisi dan Brimob juga ikut dikirim ke kampung gw. Tujuannya untuk memburu pasukan GAM yang sudah dicap pembrontak.

Okay kembali lagi ke topik, di pasar gw bersama teman-teman tetap berjalan seperti biasa. Dalam pikiran, gw pikir pak tentara pasti gak bakalan menggangu anak-anak yang lagi pulang sekolah. Dugaan gw benar. Tapi begitu lewat satu kelompok tentara, seekor anjing dengan lidah menjulur keluar menatap gw dengan tatapan tajam  penuh percaya diri.

Seluruh badan gw seketika gemeteran. Tanpa ba bi bu, gw milih lari sambil nangis sekuat tenaga. Waktu lari, gw masih sempat lihat ke belakang dan ternyata anjing itu hanya sejengkal dari paha gw. Suara “khung… khung… khung…” semakin membuat keadaan seperti mau kiamat. Volume nangis gw besarin. Dalam hati, gw sudah mengucap kalimat dua kalimat syahadat berkali-kali.

Selepas gw lari sekuat tenaga sejauh lima meter, ya lima meter, akhirnya datang sejumlah bapak-bapak tentara. Gw akhirnya selamat setelah berlindung di belakang mereka. Anjing tanpa otak kayak binatang itu juga berhenti. Takut sama senjata kali ya.

Air mata masih menggenangi kedua bola mata gw saat berada dibalik pak tentara berbadan tegap nan gagah-gagah. Tiba-tiba gw merasa paha kiri panas. Dipikiran, ini pasti darah dan paha kiri gw sudah luka parah gara-gara digigit anjing. Gw nangis lagi sambil memberanikan diri menengok ke bawah.

Warnanya bukan merah tapi celana gw basah. Setelah melihat dari depan celana, akhirnya gw sadar. Dalam hati, anjriiiiitttt, gw pipis dalam celana. Teman-teman gw yang ngelihat dari tadi adegan lomba lari antara bocah kelas 3 sama anjing ketawa sekuat tenaga.

Bahkan, satu diantara mereka ada yang teriak “Woiii coba lihat dia pipis dalam celana,” sambil telunjuknya menunjuk ke arah celana gw yang sudah basah setengah. Agar tidak terlalu konyol, gw mencari seribu alasan untuk menjelaskan pada mereka yang sok-sok gak pernah kencing dalam celana.

“Gw kencing dalam celana bukan gara-gara dikejar anjing, tapi…,” jelas gw. “Tapi apa?” tanya mereka. “Tapi karena gw takut jadi makanan anjing.”

Mendengar jawaban bodoh gw, mereka semakin menambah volume ketawa. Waktu itu, perasaan gw bercampur aduk antara malu, takut dan diketawain sama teman. Sakitnya tuh di sini, sambil nunjuk ujung rambut.

Tak lama kemudian, kami memilih pulang hingga tiba di rumah masing-masing. Di rumah, gw ambil celana yang sudah basah tadi langsung gw cuci agar gak ketahuan sama mamak. Tapi tetap saja orang tua gw tau karena di kampung gw banyak sekali paparazzi yang siap “merekam” semua kejadian. Paparazzi di desa gw tidak bekerja untuk sebuah media massa, tapi media ploko, sebuah balai yang dijadikan pos jaga di kampung-kampung. Di sana mereka bergosip bahkan lebih hebat dari tayangan infotaimen sekelas pisau.

Pengalaman dikejar anjing ini mungkin gak pernah bisa gw lupain sampai kapanpun. Ini menunjukkan bahwa gw hampir jadi korban konflik. Coba bayangkan kalau gw sempat jadi santapan lezat anjing hari itu. Pasti gw  gak bisa nulis catatan bodoh ini.

Sekian dulu ya!

Agus Setyadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun