Lonceng sekolah tanda pulang berbunyi tiga kali. “Ting… ting… ting…”. Gw waktu itu masih duduk di bangku kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) langsung aja ambil tas dari balik kolong meja. Tas sudah di bahu pertanda gw siap take off dari ruang sekolah yang berantakan.
Usai bersalaman sama ibu guru tua yang cantik bingit, eh jangan salah paham dulu dong, ibu guru yang ngajar gw memang bener-bener cantik lho. Tapi waktu dia masih gadis, kalau sekarang lo bisa ngebayang sendiri kan gimana nenek-nenek. Gw bersama tiga teman memilih pulang jalan kaki. Padahal gak ada sepeda, sssttttt.
Seperti biasa, gw menyusuri jalanan aspal untuk pulang menuju rumah yang berjarak sekitar 1 kilometer. Hari itu, cuacanya lumayan cerah dan saking cerahnya lembu saja harus minta maaf gak sanggup berada di jalan. Tapi karena masih kecil, gw gak peduli panas asal sampai ke istana yang berada di ujung desa.
Banyak topik yang gw bahas selama dalam perjalanan mulai dari strategi main mobil mainan dari pelepah rumbia, mandi sungai dicium lintah dan masih banyak lainnya. Karena waktu itu gw masih kecil dan ganteng (sekarang masih tetap ganteng juga kok kalau dilihat dari ujung menara Masjid Raya Baiturrahman), topik pembahasannya ya seputar itu-itu saja lah. Belum gaul.
Setelah 10 menit berjalan di pinggir jalan yang sunyi dari lalu lalang kendaraan, gw tiba di pasar tak jauh dari rumah. Di sana, ada banyak pak tentara mengenakan seragam loreng lengkap dengan senjata, iihhh takut. Mereka sedang berbelanja. Suasana mencekam seperti di film perang Vietnam. Ya elah pake-pake seperti lagi, memang tengah perang hai gam (gam di sini berarti anak laki-laki ya, bukan orang GAM).
Oya gw hampir lupa, waktu itu memang masih terjadi konflik antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia. Ribuan bapak-bapak tentara yang baik hati, ada yang berani bilang pak tentara jahat-jahat? Pak tentara itu sebenarnya baik lho, tapi kadang sepatunya aja yang bandel suka nempel di kepala orang. Selain tentara, polisi dan Brimob juga ikut dikirim ke kampung gw. Tujuannya untuk memburu pasukan GAM yang sudah dicap pembrontak.
Okay kembali lagi ke topik, di pasar gw bersama teman-teman tetap berjalan seperti biasa. Dalam pikiran, gw pikir pak tentara pasti gak bakalan menggangu anak-anak yang lagi pulang sekolah. Dugaan gw benar. Tapi begitu lewat satu kelompok tentara, seekor anjing dengan lidah menjulur keluar menatap gw dengan tatapan tajam penuh percaya diri.
Seluruh badan gw seketika gemeteran. Tanpa ba bi bu, gw milih lari sambil nangis sekuat tenaga. Waktu lari, gw masih sempat lihat ke belakang dan ternyata anjing itu hanya sejengkal dari paha gw. Suara “khung… khung… khung…” semakin membuat keadaan seperti mau kiamat. Volume nangis gw besarin. Dalam hati, gw sudah mengucap kalimat dua kalimat syahadat berkali-kali.
Selepas gw lari sekuat tenaga sejauh lima meter, ya lima meter, akhirnya datang sejumlah bapak-bapak tentara. Gw akhirnya selamat setelah berlindung di belakang mereka. Anjing tanpa otak kayak binatang itu juga berhenti. Takut sama senjata kali ya.