Geger tentang penghapusan jurusan IPA dan IPS di SMA belakangan ini mengisi ruang publik. Mendikbudristek, Nadiem Makarim melalui Kepala BSNP mengatakan bahwa terhitung tahun ajaran 2024/2025 tidak ada lagi jurusan IPA dan IPS di SMA.
Alasan yang dikemukakan Anindito Aditomo, Kepala BSNP berkaitan dengan langkah ini masuk akal juga. Anindito mengatakan hal ini didasarkan pada aspek keadilan.
Harus diakui bahwa selama ini jurusan IPA menempati tempat Istimewa dalam sebuah SMA. Selain diisi anak-anak pintar, langkah mereka ke depan pun lebih leluasa.
Keleluasaan langkah mereka dapat dilihat dari lebih banyak jurusan yang mampu mereka rambah saat akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka bisa masuk ke jurusan-jurusan yang seharusnya menjadi 'milik' anak-anak IPS.
Situasi ini membuat beberapa sekolah kedinasan seperti STAN dan STIS didominasi anak-anak IPA. Padahal jika melihat disiplin ilmu pendukung seharusnya menjadi domain anak-anak IPS.
Namun apa daya saat seleksi masuk, anak-anak IPS harus tergeser. Hal ini disebabkan kemampuan hitung-hitungan mereka lemah.
Ada Anggapan Anak-Anak IPS adalah Kasta Kedua di SMA
Selain upaya menghilangkan unsur ketidakadilan, penghapusan jurusan ini juga bertujuan menghapus kastanisasi di SMA.
Harus diakui selama ini anak-anak IPS sering dianggap anak-anak pinggiran dengan kemampuan akademik rendah. Mirisnya, anak-anak IPS pun seakan mengiyakan. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku dan prestasi akademik mereka.
Kastanisasi ini sudah terjadi saat mulai penjurusan. Di beberapa sekolah ketika dilakukan penjurusan, jurusan IPAlah yang didahulukan. Sisa dari anak-anak tersebut baru dimasukkan ke jurusan IPS.
Ironisnya, sebagian besar guru lebih nyaman mengajar di kelas IPA daripada IPS. Jika disuruh memilih, mereka memilih mengajar di kelas IPA.
Kebebasan Anak Memilih Mata Pelajaran Tidak Semudah yang Dibayangkan
Dalam Kurikulum Nasional, ketika anak menginjak fase F atau kelas XI, mereka diizinkan memilih mata pelajaran yang diminati.
Mata pelajaran tersebut adalah mata pelajaran yang dibutuhkan berkaitan dengan studi lanjut mereka. Artinya, jika mereka berniat untuk masuk ke Fakultas Kedokteran, mereka harus memilih mata pelajaran yang mendukung.
Demikian pula bagi anak yang ingin menekuni bidang Teknik. Mata pelajaran yang dipilih harus selaras dengan jurusan tersebut.
Cita-cita Kurikulum Nasional ini sangat mulia. Mereka mengharapkan anak sudah melangkah sejak awal saat akan mengambil salah satu jurusan.
Namun di lapangan, hal itu tidak akan semudah diucapkan. Ketersediaan guru dan rombongan  belajar dipastikan menghadang kebijakan tersebut.
Ketika sekolah tersebut tidak memiliki cukup guru untuk mengikuti minat anak, dipastikan akan terhambat. Demikian juga dengan jumlah anak yang berminat melebihi atau kurang dari kuota, masalah baru pun menghadang.
Ketika jumlah anak yang berminat berlebih, maka mau tidak mau harus disesuaikan dengan ketersediaan guru.
Di sisi lain, ketika jumlah peminatnya di bawah kuota, kemungkina besar hal itu tidak terlaksana. Sebab jika jumlah rombelnya kurang dari aturan, maka sang guru tidak akan cair Tunjangan Profesi Guru (TPG) nya.
Pada akhirnya jurusan yang dapat diambil oleh anak tergantung pada ketersediaan guru di sekolah tersebut. Persis seperti yang terjadi dengan kelas peminatan di Kurikulum 2023. Saat itu kebebasan anak memilih mata pelajaran yang diminati berbenturan dengan ketersediaan guru.
Lembah Tidar, 23 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H