Ironisnya, sebagian besar guru lebih nyaman mengajar di kelas IPA daripada IPS. Jika disuruh memilih, mereka memilih mengajar di kelas IPA.
Kebebasan Anak Memilih Mata Pelajaran Tidak Semudah yang Dibayangkan
Dalam Kurikulum Nasional, ketika anak menginjak fase F atau kelas XI, mereka diizinkan memilih mata pelajaran yang diminati.
Mata pelajaran tersebut adalah mata pelajaran yang dibutuhkan berkaitan dengan studi lanjut mereka. Artinya, jika mereka berniat untuk masuk ke Fakultas Kedokteran, mereka harus memilih mata pelajaran yang mendukung.
Demikian pula bagi anak yang ingin menekuni bidang Teknik. Mata pelajaran yang dipilih harus selaras dengan jurusan tersebut.
Cita-cita Kurikulum Nasional ini sangat mulia. Mereka mengharapkan anak sudah melangkah sejak awal saat akan mengambil salah satu jurusan.
Namun di lapangan, hal itu tidak akan semudah diucapkan. Ketersediaan guru dan rombongan  belajar dipastikan menghadang kebijakan tersebut.
Ketika sekolah tersebut tidak memiliki cukup guru untuk mengikuti minat anak, dipastikan akan terhambat. Demikian juga dengan jumlah anak yang berminat melebihi atau kurang dari kuota, masalah baru pun menghadang.
Ketika jumlah anak yang berminat berlebih, maka mau tidak mau harus disesuaikan dengan ketersediaan guru.
Di sisi lain, ketika jumlah peminatnya di bawah kuota, kemungkina besar hal itu tidak terlaksana. Sebab jika jumlah rombelnya kurang dari aturan, maka sang guru tidak akan cair Tunjangan Profesi Guru (TPG) nya.
Pada akhirnya jurusan yang dapat diambil oleh anak tergantung pada ketersediaan guru di sekolah tersebut. Persis seperti yang terjadi dengan kelas peminatan di Kurikulum 2023. Saat itu kebebasan anak memilih mata pelajaran yang diminati berbenturan dengan ketersediaan guru.