Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengaji, Pendidikan Nonformal yang Tergerus karena Sekolah 5 Hari

9 Juli 2024   20:39 Diperbarui: 9 Juli 2024   20:52 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi kegiatan mengaji (Sumber gambar: kompas.com)

Judul tersebut di atas sepintas tidak nyambung antara Pendidikan nonformal dengan pola pembelajaran sekolah saat ini. seperti diketahui semua pihak, hampir semua sekolah di negeri ini menerapkan kebijakan sekolah lima hari.

Perubahan dari 6 hari ke 5 hari sepintas sangat menguntungkan siswa. Sebab anak hanya dituntut mengikuti kegiatan pembelajaran hingga hari Jumat saja. Setelah itu, terserah anak-anak menggunakan 2 hari yang tersisa.

Sekolah Lima Hari Merusak Ritme Kerja Anak

Anggapan bahwa anak mempunyai 2 hari bebas untuk mengembangkan skill di luar sekolah ternyata salah total. Sebab di 2 hari tersebut justri anak sudah dalam kejenuhan tingkat tinggi.

Hal ini dapat ditelusuri dari aktivitas keseharian anak-anak itu. Di mana dalam pola sekolah 5 hari anak akan mengikuti kegiatan pembelajaran mulai pukul 07.00 hingga 14.30 sore.

Jika dihitung dari saat keberangkatan anak menuju sekolah, anak sudah ke luar dari rumah setidaknya pukul 06.30, bahkan 06.00. Kemudian mereka baru masuk rumah lagi pada sekitar pukul 16.30.

Jika dihitung secara kasar maka anak akan berada di lingkungan sekolah selama 10 jam dalam satu hari. Dalam periode yang begitu lama, bukan tidak mungkin anak justru berada dalam kejenuhan level dewa.

Hal berbeda terjadi pada beberapa daerah yang masih menerapkan pola 6 hari sekolah. Saat anak meninggalkan sekolah pukul 13.30, mereka masih punya banyak waktu untuk mengembangkan beberapa kompetensi di luar pendidikan formal.

Kegiatan Mengaji pun Akhirnya Menjadi Korban

Saat pertama kali kebijakan 5 hari sekolah diterapkan beberapa tahun lalu, salah seorang guru ngaji di pelosok pernah bercerita pada saya. Dia mengeluhkan semakin menyusutnya anak-anak yang ikut di Taman Pendidikan Alquran (TPA) yang dikelolanya.

Diceritakan, dahulu sebelum kebijakan diterapkan mussala yang dikelolanya setiap sore dipenuhi anak-anak belajar mengaji. Mereka datang dari berbagai level sekolah. Bagi mereka yang kategori pandai ikut membimbing adik-adiknya.

Pemandangan indah semacam ini selalu tersaji di mussala tersebut. Para orang tua anak pun sebagian ikut menunggui. Kegiatan ini biasanya diakhir dengan salat Maghrib berjamaah.

Kini setelah kebijakan itu diterapkan, hanya segelintir anak yang datang. Itu pun mereka datang terlambat dengan kondisi sudah payah dengan kegiatan di sekolah.

Ketika muncul ide untuk menggesernya setelah Magrhrib, sebagian besar anak menolak. Sebab mereka masih harus mengerjakan tugas-tugas lain.

Situasi semacam ini jelas sangat mengkhawatirkan. Di saat anak-anak menghadapi gelombang informasi lewat internet yang begitu dahsyat, mereka tidak punya perisai lagi untuk menangkalnya.

Kegiatan mengaji yang semula diharapkan mampu memberi bekal, tidak dapat lagi dilakukan. Sementara itu kalau hanya mengharapkan jam Pelajaran Pendidikan Agama yang hanya sekali seminggu, jelas sangat kurang.

Padahal sebagai salah satu kegiatan nonformal, kegiatan mengaji yang dikelola dalam bentut TPA sangat berguna. Minimal mampu menampung anak-anak dalam kegiatan yang positif.

Lembah Tidar, 9 Juli 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun