Tiga puluh dua tahun menggelut profesi guru baru tahun-tahun belakangan ini sering dibuat dongkol dengan orang tua murid. Perasaaan kerja banting tulang enggak dihargai sama sekali.
Momen itu adalah momen pembagian rapor. Momen yang seharusnya menjadi momen penting dan sangat berharga bagi orang tua. Masalahnya, menyangkut masa depan anak.
Nah, yang bikin saya dongkol apalagi kalau bukan respon orang tua saat menerima rapor tersebut.
Begitu nama anaknya dipanggil, si orang tua tersebut maju ke depan. Sebelum menerima rapor. Dia tanda tangan bukti penerimaan rapor tersebut. Setelah itu, tanpa membuka rapor menyalami saya dan ucapkan terima kasih.
Begitu saja.
Tidak tanya anaknya ranking berapa, di kelas bagaimana, ada masalah tidak, dan lain-lain.
Padahal penginnya saya sebagai guru, minimal ada dialog. Atau kalau enggak, ya pura-pura membuka rapor dan melihat deretan nilai yang diraih anaknya.
Tapi, ini tidak.
Rapor itu laporan prestasi anak selama satu semester
Jika kita melongok fungsi rapor sebenarnya, harusnya orang tua punya rasa kepo yang cukup tinggi. Pasalnya, rapor adalah laporan prestasi anak dalam satu semester.
Sehingga idealnya, orang tua pengin tahu sejauh mana prestasi anak yang merupakan asset keluarga itu. Termasuk pula hal apa yang harus dibenahi atau ditingkatkan.
Namun menilik dari sikap beberapa orang tua tersebut, saya ambil kesimpulan mereka tidak peduli pada masa depan anak. Kalaupun ada kepedulian, ya kepedulian untuk mengambil rapor saja.
Jerih payah para guru selama satu semester membimbing, melatih, menguji anak tidak dianggap sama sekali. Buktinya, mereka tidak ingin tahu hasilnya.
Bahkan terkadang saat rapor dikembalikan, belum ditandatangani orang tua sama sekali.
Hilangnya peran sakral sebuah rapor
Kejadian ini tidak akan pernah terjadi beberapa puluh tahun yang lalu. Saat literasi masyarakat belum setinggi sekarang. Saat itu justru rasa kepo orang tua terhadap hasil belajar anak tinggi sekali.
Bahkan tidak jarang orang tua marah saat menemukan nilai 'merah' yang tercantum di rapor anak mereka.
Demikian  pula pada diri anak. Mereka merasa malu dengan nilai merah yang ada di rapornya. Apalagi nilai merah tersebut tidak akan terhapus dari buku rapor itu. Sehingga nilai tersebut tak ubahnya sebuah prasasti bagi anak itu sendiri.
Dampak positifnya. Anak akan belajar sekuat tenaga agar tidak ada satu pun nilai merah di rapornya. Bagi mereka nilai merah ibarat aib bagi Sejarah kehidupan mereka.
'Murahnya' nilai dalam rapor mungkin menjadi salah satu penyebab
Hal yang berbeda antara rapor sekarang zaman dahulu adalah deretan angka yang tersaji. Dalam rapor sekarang, jangan pernah membayangkan nilai merah atau tidak tuntas pada anak-anak kita.
Nilai paling rendah hanya berada di batas tuntas. Selebihnya dari itu tidak ada. Bahkan bertaburan nilai-nilai yang luar biasa di rapor anak-anak sekarang.
Beda dengan rapor zaman dahulu. Deretan nilai-nilai bagus hanya dimiliki mereka yang mempunyai kemampuan  akademik tinggi. Sehingga rapor seakan menjadi penanda akan kemampuan akademis anak tersebut.
Hal inilah yang mungkin membedakan. Bertaburnya nilai-nilai bagus dalam rapor anak-anak sekarang membuat orang tua cepat puas.
Demikian pula dengan status kenaikan atau kelulusan anak. Itu pun tidak jadi masalah. Sebab zaman sekarang dengan alasan tertentu, tidak akan ditemukan anak dalam kategori tidak naik atau tidak lulus.
Secara umum situasi semacam ini jelas mengkhawatirkan. Pemberian nilai yang tidak sesuai kemampuan anak, justru menjadi racun. Mereka tidak dibiasakan berhadapan dengan kenyataan akan kemampuan mereka sebenarnya. Demikian pula dengan orang tua yang puas dengan apa yang dicapai anaknya.
Lembah Tidar, 25 Juni 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H