Sehingga idealnya, orang tua pengin tahu sejauh mana prestasi anak yang merupakan asset keluarga itu. Termasuk pula hal apa yang harus dibenahi atau ditingkatkan.
Namun menilik dari sikap beberapa orang tua tersebut, saya ambil kesimpulan mereka tidak peduli pada masa depan anak. Kalaupun ada kepedulian, ya kepedulian untuk mengambil rapor saja.
Jerih payah para guru selama satu semester membimbing, melatih, menguji anak tidak dianggap sama sekali. Buktinya, mereka tidak ingin tahu hasilnya.
Bahkan terkadang saat rapor dikembalikan, belum ditandatangani orang tua sama sekali.
Hilangnya peran sakral sebuah rapor
Kejadian ini tidak akan pernah terjadi beberapa puluh tahun yang lalu. Saat literasi masyarakat belum setinggi sekarang. Saat itu justru rasa kepo orang tua terhadap hasil belajar anak tinggi sekali.
Bahkan tidak jarang orang tua marah saat menemukan nilai 'merah' yang tercantum di rapor anak mereka.
Demikian  pula pada diri anak. Mereka merasa malu dengan nilai merah yang ada di rapornya. Apalagi nilai merah tersebut tidak akan terhapus dari buku rapor itu. Sehingga nilai tersebut tak ubahnya sebuah prasasti bagi anak itu sendiri.
Dampak positifnya. Anak akan belajar sekuat tenaga agar tidak ada satu pun nilai merah di rapornya. Bagi mereka nilai merah ibarat aib bagi Sejarah kehidupan mereka.
'Murahnya' nilai dalam rapor mungkin menjadi salah satu penyebab
Hal yang berbeda antara rapor sekarang zaman dahulu adalah deretan angka yang tersaji. Dalam rapor sekarang, jangan pernah membayangkan nilai merah atau tidak tuntas pada anak-anak kita.