Ketika ditanya apakah profesi guru merupakan Impian saya. Saya menggeleng. Bukan, itu jawaban saya. Saya punya cita-cita seperti layaknya anak-anak saat itu, menjadi tentara. Namun selepas SMP, orang tua mengarahkan saya masuk SPG kemudian lanjut ke IKIP pada tahun 1988.
Pertanyaan muncul, berawal dari terpaksa ternyata keterusan hingga 35 tahun, karena saya mulai mengabdi jadi guru sejak tahun 1989 di Timor Timur. Kok, bisa?
Pepatah Jawa mengatakan witing tresno jalaran saka kulina atau dalam Bahasa Indonesia cinta itu lahir seiring berjalannya masa. Itulah yang terjadi pada saya. Kecintaan menjadi guru lahir lewat lintasan masa.
Lalu adakah seorang guru yang memang punya panggilan jiwa sejak lahir? Jelas ada. Bahkan banyak. Jiwa mengajar mereka terpanggil sejak lahir.
Mereka yang mempunyai panggilan jiwa semacam ini, ke mana pun mereka melangkah akhirnya masuk ke profesi itu. Contohnya anak teman tersebut. Rasa cinta sebagai guru tersebut tidak dirasakan selama ini.
Bagi mereka yang memang mempunyai panggilan ini, dipastikan akan  mampu memerankan profesi tersebut dengan baik. Sebab mereka akan menjalani semunya dengan landasan cinta. Jika hal ini yang terjadi, maka hasilnya pasti luar biasa.
Lalu bagaimana dengan cinta yang lahir kemudian? Hasilnya pun pasti akan maksimal. Karena rasa cinta itu yang membuat pengabdian mereka begitu luar biasa.
Sebaliknya bagi mereka yang belum bisa menempatkan profesi guru sebagai kecintaan, hasilnya pun akan berbanding terbalik. Pekerjaan yang seharusnya mulia penuh pahal, justru menjadi beban luar biasa.
Lembah Tidar, 7 Juni 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H