Saat berkunjung ke rumah salah seorang teman lama, kebar cukup mengejutkan saya dapatkan. Ketika menanyakan tentang kabar anak bungsunya, ternyata sekarang dia jadi guru di sebuah sekolah kecil pinggiran kota.
Kabar ini jelas mengejutkan. Pasalnya, anak bungsu teman lama itu sarjana psikologi dari sebuah kampus ternama. Kini mengabdi di sebuah sekolah swasta kecil di pinggiran kota. Sebuah situasi yang jelas tidak masuk akal.
"Kok, jadi guru?" tanya saya sedikir heran.
"Dia yang mau."
"Serius?"
"Ya, awalnya guru SMP-nya yang nawarin. Iseng saja. Eh, dianya tertarik," jawab teman saya.
Dialog singkat itu terjadi 4 tahun yang lalu. Konon hingga hari ini sang anak masih mengabdi di sekolah tersebut, tapi kini statusnya sudah PNS.
Gambaran situasi ini menunjukkan bahwa untuk menjadi guru ternyata tidak harus lahir dari sekolah atau kampus keguruan aja. Buktinya, apa yang terjadi pada salah satu anak teman bisa menekuni profesi itu. Saat saya tanya, apa yang dilakukan jadi tantangan.
Bekal ilmu yang dimiliki ternyata mendukung, sebab dia menjadi guru Bimbingan dan Konseling. Selain itu, dia juga aktif di beberapa LSM berkaitan anak-anak.
Saya sendiri menjalani profesi guru mendekati 35 tahun. Perjalanan yang terhitung cukup Panjang bagi profesi seorang guru.
Ketika ditanya apakah profesi guru merupakan Impian saya. Saya menggeleng. Bukan, itu jawaban saya. Saya punya cita-cita seperti layaknya anak-anak saat itu, menjadi tentara. Namun selepas SMP, orang tua mengarahkan saya masuk SPG kemudian lanjut ke IKIP pada tahun 1988.
Pertanyaan muncul, berawal dari terpaksa ternyata keterusan hingga 35 tahun, karena saya mulai mengabdi jadi guru sejak tahun 1989 di Timor Timur. Kok, bisa?
Pepatah Jawa mengatakan witing tresno jalaran saka kulina atau dalam Bahasa Indonesia cinta itu lahir seiring berjalannya masa. Itulah yang terjadi pada saya. Kecintaan menjadi guru lahir lewat lintasan masa.
Lalu adakah seorang guru yang memang punya panggilan jiwa sejak lahir? Jelas ada. Bahkan banyak. Jiwa mengajar mereka terpanggil sejak lahir.
Mereka yang mempunyai panggilan jiwa semacam ini, ke mana pun mereka melangkah akhirnya masuk ke profesi itu. Contohnya anak teman tersebut. Rasa cinta sebagai guru tersebut tidak dirasakan selama ini.
Bagi mereka yang memang mempunyai panggilan ini, dipastikan akan  mampu memerankan profesi tersebut dengan baik. Sebab mereka akan menjalani semunya dengan landasan cinta. Jika hal ini yang terjadi, maka hasilnya pasti luar biasa.
Lalu bagaimana dengan cinta yang lahir kemudian? Hasilnya pun pasti akan maksimal. Karena rasa cinta itu yang membuat pengabdian mereka begitu luar biasa.
Sebaliknya bagi mereka yang belum bisa menempatkan profesi guru sebagai kecintaan, hasilnya pun akan berbanding terbalik. Pekerjaan yang seharusnya mulia penuh pahal, justru menjadi beban luar biasa.
Lembah Tidar, 7 Juni 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI