Saya termasuk golongan orang boros untuk potong rambut. Bayangin saja, setiap setengah bulan harus antri di tukang cukur langganan. Sebab semenjak saya memutuskan untuk berambut "sangat pendek" ini, mau tidak mau itu yang harus saya lakukan. Padahal saat tukang cukur memotong rambut ini, hanya 5 menit. Â Dan uang sepuluh ribu pun harus berpindah tangan sebagai ongkosnya. Tapi, no what-what alias tidak apa-apa.
Nah suatu ketika saya terkejut saya tiba jadwal potong rambut. Sang tukang cukur langganan wajahnya bermuram durja. Tidak ceria seperti biasanya. Padahal, biasanya teman yang dari Madura ini banyak banget ceritanya.
"Tumben Cak, hari ini sampeyan diam saja," tanya saya sambil menikmati pijatan di punggung saya.
"Lagi pusing, Pak."
"Pusing? Ada masalah, po?"
"Iya.'
"Berat?"
"Banget," jawabnya pendek. "Saya disuruh pindah dari kios ini."
"Lah, kenapa?"
"Nunggu uang sewa."
"Berapa bulan?"
"Dua tahun."
Jawaban itu tentu saja membuat saya kaget. Sepengetahuan saya, Cak Maahfud tukang cukur langganan say aini laris. Dihitung-hitung sehari paling sedikit dia mencukur 10 orang. Kalau satu orang 10 ribu, berarti 100 ribu sudah mampir di kantong.
"Berapa per tahunnya?" tanya saya.
"Satu koma delapan juta."
Otak saya pun langsung bekerja. Jika setahun 1,8 juta, berarti per bulan tarifnya 150 ribu. Jumlah itu kalau dibagi menjadi 30 hari, ternyata menjadi 5 ribu rupiah.
"Kok bisa nunggak?" tanya saya. Kemudian saya sampaikan hitungan yang ada di benak saya. "Nah, kalau dihitung-hitung kan sampeyan bisa sisihkan 5 ribu setiap hari. Saat dibutuhkan, enggak jadi masalah."
"Itulah masalahnya, Pak. Saya enggak bisa disiplin." Dia menyampaikan argumennya.
"Enggak disiplin atau menyepelekan uang 5 ribu itu," selidik saya.
Dia pun terdiam. Pijatan di punggung saya yang sudah selesai dilanjutkan dengan membersihkan sisa rambut di celemek yang saya kenakan.
"Kalau sampeyan mau disiplin, saya kira enggak akan begini masalahnya."
"Benar juga, Pak. Coba nanti saya nego sama yang punya kios."
"Ya, moga-moga berhasil."
"Aamiin."
Saya pun beranjak meninggalkan kios itu dengan vario kesayangan. Dalam bayangan saya inga tapa kata orang tua, jangan pernah mengecilkan apa pun. Karena besar itu asalnya dari kecil. Sebaliknya sesuatu yang besar dapat saja hancur karena sesuatu yang kecil.
Lembah Tidar, 23 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H