Kegaduhan yang Aneh
Â
Beberapa bulan belakangan ini, ruang dengar negeri ini dipenuhi dengan berbagai ragam kegaduhan. Kegaduhan yang berawal dari satu titik, kemudian melebar ke mana-mana. Dan tak urung pro kontra pun terjadi.
Bagi sebagai orang pasti mengatakan ini sebuah dinamika. Aksi maupun reaksi yang muncul, menunjukkan bangsa ini tengah beranjak maju. Namun bagi orang lain, mungkin dianggap sebagai kegiatan yang buang-buang energy. Pasalnya di ujung pertengkaran, tiba-tiba semua menyublim, alias hilang tanpa bekas. Hmmm ....
Kegaduhan yang terjadi belakangan ini, jika dikelompokkan isyu-isyu yang diusung pun ternyata sangat beragam. Mulai dari isyu politik terutama pilpres 2024, usulan 3 periode dan penundaan pemilu. Kedua hal ini tampak kentara di permukaan, walaupun kemudian adem-adem saja.
Masalah berkaitan dengan umat Islam  pun tak kalah rumitnya. Mulai dari radikalisme, aturan penggunaan toa masjid, hingga yang terakhir perubahan stiker halal sekaligus perubahan dalam pelaksanaannya. Ini pun memancing debat panjang antara kedua belah pihak. Tapi, lagi-lagi adem dengan sendirinya, tanpa perlu diberi paracetamol.
Nah yang paling rumit adalah yang ketiga, bidang ekonomi. Kegaduhan di bidang ini mau tidak mau pasti akan paling banyak dampaknya. Sebab sector ini sangat bergesekan dengan kaum bawah. Baik itu dari kelangkaan minyak goreng yang berujung kenaikan harga, harga kedelai yang merangkak naik, kenaikan harga gas non subsidi, dan mungkin juga BBM.
Tingkat kegaduhan di bidang ekonomi sangat tinggi dari segi kebisingan. Umpatan dari kaum yang terdampak begitu keras. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengantri dan menunggu langkah pemerintah. Ketidakmampuan mereka untuk berbuat, tampak dari antusisme mereka mencari operasi pasar minyak goreng di mana pun berada.
Mengamati berbagai kegaduhan ini, terasa ada sesuatu yang janggal dan aneh. Perasaan ini muncul dikarenakan sebagian besar asal kegaduhan muncul dari pemerintah. Berbagai kebijakan yang langsung diambil presiden atau pun menteri, terkesan tidak berpihak pada rakyat. Derita rakyat 2 tahun gegara pandemi Covid-19 seakan tidak diperhatikan. Buktinya lonjakan berbagai harga muncul di mana-mana.
Padahal dalam pandangan orang awam, seharusnya pemerintah bersikap sebaliknya. Justru pemerintah harus mengambil hati atau merebut hati rakyat sebisa mungkin. Antara lain dengan mengeluarkan aneka kebijakan yang pro wong cilik. Tentu saja hal ini berkaitan dengan agenda Pilpres 2024, di mana pada saat itu suara mereka sangat berharga sekali.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Coba lihat saja saat Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan aturan pencairan JHT. Siapa yang langsung kena? Kaum buruh yang identic sebagai rakyat kecil yang tersengat. Maka jangan heran jika reaksi yang mereka tunjukkan luar biasa. Dan aturan itu pun tidak berlaku lagi dengan alasan tidak jelas.
Demikian pula dengan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang begitu hebat. Sampai hari ini pun masalah itu belum dapat terurai. Bahkan langkah penentuan HET yang telah di-tok, ditarik ulang. Dan ajaibnya setelah HET ditarik, bermunculan minyak-minyak itu dengan harga baru.
Hal-hal tidak populis inilah yang mengundang tanda tanya besar. Apakah mereka yang berkuasa sudah yakin masih kuat kedudukannya. Sehingga berbagai kebijakan yang tidak populis yang mereka tampilkan dianggap tidak akan berpengaruh besar saat pertarungan 2024 dilakukan.
Atau mungkin saja mereka sudah mempunyai strategi khusus yang akan digunakan pada saatnya nanti. Mereka telah punya senjata pamungkas yang bisa mengubah semuanya, dari tidak suka menjadi suka. Ah, entahlah. Dalam dunia politik tak pernah ada rumus yang pasti.
Lembah Tidar, 23 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H