Peringatan ini mungkin perlu disampaikan pada Bu Menteri Tenaga Kerja atau siapa pun yang ikut memutuskan Permenaker nomor 2 tahun 2022, tentang pencairan JHT. Karena terbukti reaksi dari kaum buruh atas keputusan ini begitu luar biasa.
Jujur, sebenarnya mulia juga tujuan aturan ini. Pencairan JHT pada usia 56 tahun adalah langkah persiapan hari tua yang sangat visioner. Sebab pada saat itu mereka yang akan menikmati manfaat JHT pasti sudah tidak produktif lagi. Tahu sendiri kan, bahwa senjata andalan kaum buruh untuk bekerja adalah fisik mereka.
Dengan pencairan pada usia 56 tahun, maka diharapkan uang itu akan berarti. Mereka dapat saja memulai untuk modal usaha atau yang lainnya. Sehingga meski fisik mereka sudah tidak sekuat dulu, masih ada yang dapat digunakan untuk bertahan hidup. Apalagi kalau bukan usaha yang mereka lakukan.
Nah, permasalahan menjadi lain saat tingkat kesejahteraan kaum buruh belum memadai. Jangankan untuk menabung, memenuhi kehidupan sehari-hari pun mereka pontang-panting.Â
Okelah ketika sebagian gaji mereka dipotong sebagai iuran BPJS Ketenagakerjaan menjadi salah satu cara memaksa mereka menabung. Sehingga sedikit banyak ada dana yang disisihkan sebagai cadangan.
Permasalahan lain pun menjadi pelik, saat mereka tidak bisa menjamin masa depan pekerjaan mereka. Posisi mereka sangat rentang dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).Â
Saat situasi ekonomi tidak kondusif, maka dapat dipastikan mereka adalah pihak yang paling terdampak. Alasan kesulitan ekonomi yang dialami perusahaan menjadi senjata untuk mengurangi buruh yang mereka pekerjakan.
Dalam kondisi semacam inilah, mereka mau tidak mau melirik pada sebagian dana yang terpaksa mereka sisihkan lewat iuran BPJS Ketenagakerajaan. Di mata mereka, dana itu adalah dana darurat. Dana yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu. Seperti saat mereka harus mengalami pemutusan hubungan kerja.
Di dalam benak kaum buruh tidak ada pemikiran akan masa depan. Secara sederhana, hari ini adalah untuk hari ini. Sedangkan esok hari, yah urusan besok. Se simpel itu logika yang bermain di benak mereka.
Sisi lain yang tidak dapat dibandingkan adalah pegawai negeri. Secara apa pun mereka dalam kondisi yang nyaman. Jaminan keberlangsungan pekerjaan mereka sudah jelas. Hanya usia yang akan menghentikan pekerjaan mereka. Dan pada saat itulah mereka menikmati Jaminan Hari Tua (JHT)berupa uang pensiun.
Kondisi seperti pegawai negeri ini baru dapat dirasakan para buruh, dalam artian pekerjaan mereka terjamin sampai usia 'pensiun' jika kondisi perekonomian dalam posisi stabil selamanya.Â
Namun lagi-lagi, siapa bisa menjamin. Badai Covid 19 yang sudah 2 tahun menghajar dunia ini memorak-porandakan semuanya. Belum lagi kondisi-kondisi buruk yang lain.
Akhirnya mungkin tidak aturan Permenkraf nomor 2 tahun 2022 itu diterapkan? Jawabannya, mungkin saja. Tapi seperti kata iklan, syarat dan ketentua berlaku. Di antaranya adalah sifat aturan ini suka rela, dalam artian para buruh boleh memilih.
Kedua, harus ada regulasi yang jelas. Baik itu mengenai cara pencairannya, keuntunngan yang didapat mereka yang mengikuti program ini, dan jaminan keamanan dana. Sehingga menghilangkan syak wasangka dari siapa pun.
Nah, yang ketiga ini harus pula dilakukan. Kaum buruh dilibatkan dalam pembahasan aturan ini. Dengan duduk satu meja, maka semua akan terang benderang. Kesepakatan yang muncul adalah kesekapatan yang simbiose mutualisme.
Lembah Tidar, 19 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H