Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Masih Relevankah Sistem Guru Kelas pada Jenjang SD?

14 Juli 2021   09:10 Diperbarui: 15 Juli 2021   09:27 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru Kelas VI MIN 8 Gunungkidul Ahmad Satibi Sedang Mengajar Menggunakan HT Selasa (25/8/2020)(KOMPAS.COM/MARKUS YUWONO)

Sebagai sesama guru, saya sangat kagum dengan teman-teman guru yang mengajar di jenjang SD. Rasa kagum ini tidak hanya pada mereka yang berstatus ASN, tapi juga terhadap teman-teman guru honorer atau dikenal dengan istilah wiyata bhakti.

Kekaguman ini bukannya tanpa dasar, banyak hal yang membuat saya harus angkat topi pada mereka. Di antaranya adalah lokasi pengabdian sebagian besar dari teman guru. Tidak sedikit yang ditempatkan di kawasan 3T (Terjauh, Terpencil, dan Tertinggal) apalagi bagi teman-teman guru SD di luar Jawa.

Selain tenaga mereka yang luar biasa, hal ini dapat kita lihat pada realita yang ada saat ini. Realita perbandingan antara guru yang ada dengan jumlah kelas yang harus diampunya. 

Tidak jarang seorang guru harus mengampu beberapa tingkat kelas karena hal tertentu. Mungkin saja dikarenakan ruangan yang kurang atau juga tenaga guru yang tidak memadai.

Kekaguman yang ketiga adalah kemampuan mereka harus menguasai berbagai mata pelajaran. Mulai dari yang paling mudah seperti prakarya, hingga ke tingkat yang paling rumit, yaitu mata pelajaran matematika. 

Sungguh sebuah tuntutan yang luar biasa bagi seorang guru, kalaupun ada mata pelajaran yang diserahkan pada guru lain, hanya mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan jasmani.

Pengamatan ini adalah pengamatan nyata. Saya sendiri adalah lulusan SPG tahun 1985. Saya mengalami sendiri saat praktek mengajar di beberapa SD. Tuntutan dari guru pembimbing luar biasa. Kami harus menguasai bagaimana mengajar bahasa Jawa (bahasa daerah) hingga mata pelajaran matematika, dan harus menyampaikan dengan bahasa yang dapat diterima anak.

Hal ini jelas jauh berbeda dengan yang dialami teman-teman guru di jenjang SMP dan SMA. Di jenjang ini, seorang guru berperan sebagai guru mata pelajaran, jelas jauh lebih ringan tugasnya. Teman-teman di jenjang SMP dan SMA lebih fokus pada mata pelajaran yang diampunya.

Mungkin ada sebagian masyarakat yang belum mengetahui perbedaan keduanya. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, dikenal ada 2 jenis guru. 

Partama adalah guru kelas. Guru pada kategori ini bertanggung jawab terhadap kelas yang dipegangnya. Tanggung jawab itu meliputi masalah administrasi siswa yang dipegangnya dan hampir sebagian besar mata pelajaran di kelas itu.

Kedua adalah guru mata pelajaran. Guru pada kategori ini hanya memegang satu mata pelajaran yang menjadi keahliannya. Mata pelajaran tersebut disesuaikan dengan ijazah yang dipegangnya. Tanggung jawab guru mata pelajaran hanya sebatas mata pelajaran yang diampunya sebanyak kelas yang diajar. Guru tersebut tidak mengerjakan hal-hal administrasi siswa tiap kelas, kecuali berkaitan dengan mata pelajaran yang diampunya.

Sistem guru kelas diterapkan di jenjang SD. Hal ini sesuai dengan pendidikan yang mereka tempuh. Kalau dahulu lewat SPG (Sekolah Pendidikan Guru), sekarang ditempuh melalui prodi PGSD. 

Di kedua jenis pendidikan calon guru dibekali ilmu dedaktik dan metodik, sekaligus pengetahun terkait berbagai mata pelajaran yang akan diampunya nanti.

Dari berbagai kekaguman yang ada, terselip sedikit kekhawatiran di hati saya. Bagaimanapun guru juga manusia, pasti ada keterbatasan pada diri mereka. Termasuk keterbatasan dalam menguasai materi pelajaran yang begitu banyak. Sementara sudah menjadi rahasia umum masih banyak tugas-tugas sekolah lain yang harus mereka kerjakan.

Pengalaman yang pernah rasakan adalah pada anak saya sendiri waktu masih SD. Secara kebetulan anak saya diajar oleh guru honorer atau wiyata bhakti. Ketika iseng saya tanyakan tentang beberapa materi pelajaran yang sulit, seperti misalnya nembang (nyanyi dalam bahasa Jawa).

Aksi seorang guru SD dalam menangani siswa-siswa pada kelas rendah (republika.com)
Aksi seorang guru SD dalam menangani siswa-siswa pada kelas rendah (republika.com)

Jawaban yang saya dapatkan benar-benar di luar dugaan saya. Dikatakannya bahwa materi itu dilewati. Lalu ketika saya tanyakan lagi beberapa materi yang termasuk sulit, dijawab pula hanya diberikan PR saja oleh bu guru.

Mendengar jawaban itu saya terperangah. Memang tidak semua guru begitu. Bagi guru-guru yang senior, kelemahan dalam penguasaan materi biasanya ditutup dengan kemampuannya dalam mengelola kelas. Sehingga dengan barbagai cara berdasarkan pengalaman bertahun-tahun, materi yang sulit dapat disampaikannya dengan baik.

Angan saya kemudian bergeser pada kemajuan ilmu pengetahuan saat ini yang luar biasa pesatnya. Jika pada zaman dahulu guru adalah orang yang paling tahu segala hal, sekarang jauh berbeda. Banyak guru-guru tua yang harus pontang-panting untuk mengejar ketinggalan dalam bidang materi pelajaran.

Di sisi lain, guru-guru muda pun mempunyai kesulitan yang sama. Jika guru-guru tua kesulitan dalam menguasai materi yang baru, guru-guru baru terkendala dengan kemampuan pengelolaan kelas. Jam terbang yang masih minim, membuat mereka harus banyak bereksperimen.

Berkait dengan pesatnya kemajaun ilmu pengetahun, terbersit nada kekhawatiran dalam diri saya. Bagaimanapun juga jenjang SD adalah jenjang dasar. Artinya jenjang SD adalah tempat di mana seorang anak mulai membangun pondasi mereka untuk bersaing di era global ini. Pondasi yang dalam dan kokoh pasti sangat dibutuhkan untukbersaing di jenjang berikutnya.

Pertanyaan besar muncul dalam diri saya, seandainya guru yang tidak menguasai dengan baik konsep yang akan ditanamkan, menjadi bahaya besar. Karena saya yakin bahwa seseorang tidak mungkin mempunyai kemampuan menguasai semua mata pelajaran dengan baik. Pasti ada bagian yang sangat dikuasainya, sebaliknya ada juga bagian yang kurang dikuasai.

Dari pertanyaan itu muncul pemikiran, mungkin akan berbeda hasilnya jika di jenjang SD diterapkan sistem guru mata pelajaran. Dalam artian guru-guru yang ada mengampu hanya mata pelajaran yang dikuasainya. Kompetensi yang penuh pada guru dapat dipastikan akan mempermudah baginya untuk mentransfer ilmu pada siswa.

Langkah ini banyak diterapkan di beberapa SD swasta dalam kategori favorit. Kompetensi guru yang mumpuni berdampak langsung pada output yang dihasilkan. Sehingga ketika siswa harus bertarung di jenjang lebih tinggi mereka mampu. Hal ini dikarenakan konsep yang mereka dapatkan sudah matang pada level dasar.

Harus diakui bahwa pendidikan bukanlah produk instan. Keberhasilan pada jenjang tinggi, pasti disebabkan oleh keberhasilan di jenjang dasar. Tidak seperti saat ini, yang muncul adalah sikap saling menyalahkan saat menemukan siswa yang kurang. Jenjang di atas akan dengan enteng menyalahkan guru pada jenjang di bawahnya.

Lembah Tidar, 14 Juli 2021

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun