Ini sebuah realita yang tidak terbantahkan. Saat beberapa guru melakukan kunjungan pada beberapa siswa yang bermasalah, ternyata orang tua sudah angkat tangan. Anak dibiarkan berjalan sesuai kehendaknya sendiri. Padahal secara apapun, orang tua tetap punya tanggung jawab penuh dalam hal ini.
Penderitaan yang tak kalah berat, terjadi saat para guru harus mengolah nilai. Guyonan yang mengatakan seorang guru harus "ngaji" bukan isapan jempol. Ngaji sendiri merupakan akronim dari ngarang biji atau mengarang nilai. Tuntutan e-rapor yang menghendaki setiap anak harus mempunyai nilai sesuai KD yang diajarkan pada semester itu, menjadi kesulitan tersendiri.
Sebagai illustrasi saja, ketika seorang anak hanya menyetorkan 2 dari 6 nilai yang harus dimiliki. Sementara para guru sudah pontang-panting dalam membujuk dan membimbing mereka agar mengumpulkan nilai itu. Di sisi lain, muncul tekanan berbagai pihak, agar guru lebih "bijaksana" dalam memberikan nilai bagi anak.
Kenyataan-kenyatan semacam inilah yang dialami sebagian besar guru saat pandemic berlangsung. Namun mau bagaimana lagi, keadaanlah yang memaksa semua harus berlaku. Harapan pandemic segera berakhir, menjadi satu-satunya nyanyian yang meluncur dari mulut setiap guru. Walaupun nanti saat pandemic berakhir, serangkaian tugas berat guru sudah menanti untuk menata semua agar seperti saat pandemic belum terjadi.
Lembah Tidar, 21 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H