Saya yakin tak ada satu pun guru di negeri ini terbayang akan terlempar dalam pusaran Pandemi Covid-19. Rasa nyaman yang selama ini dilalui lewat pembelajaran tatap muka, seketika sirna. Berganti dengan model pembelajaran yang entah datang dari mana, pembelajaran daring.
Diakui atau tidak pandemic ini merubah total segala tatanan hidup di dunia ini. Dari mulai yang remeh temeh, hingga masalah peribadatan yang selama ini berada pada tataran tidak tersentuh sama sekali. Pendidikan sebagai salah satu bagian dari kehidupan ini, tak ayal tersenggol juga.
Jika sector pendidikan tersenggol, dapat dipastikan kalangan gurulah yang dibuat pontang-panting. Seakan gempa besar melanda guru dari segala lapisan.
Permasalahan awal yang muncul adalah penguasaan tenologi. Tak dapat dimungkiiri mungkin sebagian besar guru-guru kita berada pada level awam dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Penguasaan mereka pada pengoperasian internet hanya sebatas untuk kepentingan mendasar saja. Belum lagi penggunaan akan aplikasi yang harus digunakan.
Situasi ini seakan menempatkan guru pada sosok paling bodoh, dari semula sebagai pusat segala pertanyaan dari siswa. Lemahnya penguasaan ini membuat mereka gamang dalam melangkah. Walaupun akhirnya mereka mampu melewatinya dengan segala keterbatasan, ternyata belum juga optimal.
Permasalah kedua yang muncul adalah tahap mempersiapkan materi pembelajaran. Materi yang semula disampaikan secara tatap muka, seketika berubah dalam kondisi nir tatap muka. Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Hal yang paling gampang untuk menunjukkan sebuah benda, guru harus pontang-panting mencari alat bantu berupa gambar atau pun yang lain.
Hal yang tak kalah sulit, adalah penanaman sebuah konsep dalam materi yang disampaikan. Jika dalam kondisi normal hal tidak terlalu sulit. Sekali guru bicara, dapat dipastikan semua anak akan mendengar. Dengan model daring, hal ini bukan jaminan. Kenyataan di lapangan tidak semua anak mau masuk dalam jaringan yang disediakan.
Selain itu membawa anak untuk membayangkan sesuatu yang mereka tidak ketahui, bukan hal yang mudah. Dalam rumpun eksakta saja dapat dibayangkan bagaimana seorang guru harus susah payah menjelaskan sebuah konsep yang mereka ajarkan. Komunikasi yang tidak lancar sebagaimana mestinya menjadi salah satu hambatan.
Perjalanan "penderitaan" para guru ternyata tidak hanya sampai di sini. Di berbagai pelosok tanah air, terdengar jeritan para guru hanya untuk mengajak anak untuk masuk dalam kegiatan pembelajaran daring. Tak jarang mereka melakukan komunikasi langsung menggunakan telepon, hanya untuk memastikan anak ada pada posisi yang tepat saat pembelajaran berlangsung.
Muncul pertanyaan apakah orang tua tidak membantu? Jawabannya adalah sebagian orang tua sudah tidak lagi peduli dengan semua ini. Sebagian sudah angkat bendera putih karena sudah tidak mampu lagi mengajar mau pun mengawasi anaknya. Keterbatasan ilmu dan tuntutan pekerjaan lain, membuatnya abai dengan perkembangan belajar anak.
Ini sebuah realita yang tidak terbantahkan. Saat beberapa guru melakukan kunjungan pada beberapa siswa yang bermasalah, ternyata orang tua sudah angkat tangan. Anak dibiarkan berjalan sesuai kehendaknya sendiri. Padahal secara apapun, orang tua tetap punya tanggung jawab penuh dalam hal ini.
Penderitaan yang tak kalah berat, terjadi saat para guru harus mengolah nilai. Guyonan yang mengatakan seorang guru harus "ngaji" bukan isapan jempol. Ngaji sendiri merupakan akronim dari ngarang biji atau mengarang nilai. Tuntutan e-rapor yang menghendaki setiap anak harus mempunyai nilai sesuai KD yang diajarkan pada semester itu, menjadi kesulitan tersendiri.
Sebagai illustrasi saja, ketika seorang anak hanya menyetorkan 2 dari 6 nilai yang harus dimiliki. Sementara para guru sudah pontang-panting dalam membujuk dan membimbing mereka agar mengumpulkan nilai itu. Di sisi lain, muncul tekanan berbagai pihak, agar guru lebih "bijaksana" dalam memberikan nilai bagi anak.
Kenyataan-kenyatan semacam inilah yang dialami sebagian besar guru saat pandemic berlangsung. Namun mau bagaimana lagi, keadaanlah yang memaksa semua harus berlaku. Harapan pandemic segera berakhir, menjadi satu-satunya nyanyian yang meluncur dari mulut setiap guru. Walaupun nanti saat pandemic berakhir, serangkaian tugas berat guru sudah menanti untuk menata semua agar seperti saat pandemic belum terjadi.
Lembah Tidar, 21 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H