Belum sempat kita menarik nafas atas kejadian di Kalimantan Tengah tentang anak-anak gadis kita. Saat tiga orang siswi SMA melakukan pornoaksi melalui live Instagram sekitar seminggu yang lalu. Dengan cepat aksi mereka menjadi perbincangan nasional, dan menghadirkan keprihatinan mendalam di semua kalangan.
Jauh kita tengok ke belakang lagi, satu kejadian pula dari anak-anak gadis kita menyentak akal sehat kita. Pada bulan Maret 2020, NF anak perempuan berumur 15 tahun dengan tanpa beban melakukan tindak pembunuhan. Perilaku itu dilakukan dengan tanpa alasan yang jelas, dan yang lebih mengherankan lagi dia sendiri mengakui perbuatannya tanpa menunjukkan rasa sesal sama sekali.
Kali ini kabar yang lebih menyentak terjadi 2 hari yang lalu. Ulah 4 remaja putri dengan tanpa belas kasihan membunuh supir taksi online yang mereka sewa. Hanya karena tidak mampu membayar ongkos sewa taksi dari Jakarta ke Pengalengan sebesar 1,7 juta mereka melakukan pembunuhan. Dan lebih parah lagi, tanpa mempunyai kemampuan mengemudi mereka melarikan mobil tersebut hingga terjadi kecelakaan.
Peristiwa-peristiwa tersebut boleh jadi hanya sedikit yang terungkap ke permukaan. Tidak menutup kemungkinan peristiwa lain telah terjadi namun belum terungkap. Ibarat gunung es, puncak yang terlihat tak ubahnya fatamorgana. Dalam skala yang lebih kecil mungkin lebih banyak lagi aksi-aksi mereka yang mengarah pada kriminalitas maupun pornografi.
Sebagian pihak pasti akan langsung tunjuk hidung bahwa ini merupakan kegagalan daru sistem pendidikan negara ini. Pembentukan karakter yang seharusnya menjadi roh dari proses pendidikan telah gagal melaksanakan misinya. Indikator yang digunakan gampang, perubahan perilaku anak-anak yang cenderung menyimpang menjadi bukti yang tak terbantahkan.
Namun pertanyaannya, apakah hal ini adil? Menyalahkan pendidikan sebagai satu-satunya biang keladi segala penyimpangan ini. Tentu sangat tidak adil. Sebab lingkungan pendidikan bukanlah satu-satunya komponen pembentuk karakter anak. Sektor pendidikan hanyalah salah satu komponen dalam proses tersebut.
Dalam sebuah teori yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, disampaikan ada 3 komponen yang mempunyai peran besar dalam membentuk karakter seorang anak. Ketiga komponen tersebut adalah lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan bermain anak. Ketiga komponen ini lazim disebut Tri Pusat Pendidikan.
Dalam beberapa kasus yang terjadi, banyak hal yang tidak semestinya di dalam keluarga maupun lingkungan mereka. Diakui atau tidak, lingkungan keluarga merupakan peletak dasar karakter seorang anak. Lingkungan keluarga yang kondusif, dapat dipastikan akan melahirkan sosok-sosok anak yang berkarakter.
Sebaliknya lingkungan keluarga yang tidak teratur, pasti juga akan mempengaruhi karakter sang anak. Langkah pembiaran terhadap setiap perilaku anak pada saatnya akan menjadi bumerang bagi keluarga tersebut. Perlu diingat bahwa anak adalah sosok yang belum matang secara psikologis. Sehingga meskipun secara biologis dia telah matang, namun kedewasaan dalam menilai sebuah permasalahan belum mereka miliki. Disini diperlukan peran orang tua di dalamnya.
Satu hal lagi yang tak kalah penting adalah lingkungan bermain. Lingkungan yang satu ini menjadi faktor yang paling dominan dalam diri seorang anak.Â
Kepatuhan mereka terhadap lingkungan bermain mereka lebih kuat dibandingkan dengan kepatuhan terhadap orang tua maupun sekolah. Hal ini dapat terjadi karena di lingkungan inilah mereka mendapatkan apa-apa yang selama ini dilarang di dalam keluarga maupun sekolah. Lingkungan bermain sangat permisif dengan hal-hal tersebut. Sehingga jangan salahkan mereka, jika lingkungan itu membuat mereka nyaman.
Berkaca dari hal-hal tersebut diatas, lingkungan keluarga dan lingkungan bermain yang mendominasi pembentukan karakter mereka. Pengawasan maupun komunikasi dengan keluarga yang kurang, membuat mereka tersesat sangat jauh. Mereka justru mendapatkan kenyamanan dengan situasi semacam ini.
Lalu apakah lingkungan pendidikan tidak mempunyai andil kesalahan? Tentu saja ada peran lingkungan pendidikan dalam kasus ini. Tuntutan kurikulum yang demikian berat membuat mereka mencari kompensasi negatif di luar sekolah. Demikian juga suasana sekolah yang tidak kondusif membuat mereka tidak betah di sekolah.
Pada akhirnya secuil kisah miris yang dilakukan oleh anak-anak gadis kita bukan untuk diratapi saja. Sudah saatnya ketiga lingkungan dalam konsep tri pusat pendidikan untuk merapatkan barisan. Tidak mungkin kita hanya mengandalkan salah satu komponen untuk menyelesaikan masalah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H