Lebaran dan mudik, ibarat pasangan yang abadi. Keduanya menjadi sebuah tradisi yang telah mengakar pada sebagian besar rakyat Indonesia. Dan yang lebih luar biasa, mudik menjadi milik siapapun. Tidak melihat suku apa, bahkan agama apa yang mereka anut. Mobilitas masyarakat dalam bentuk mudik lebih besar dibandingkan saat libur akhir tahun dimana umat Nasrani merayakan Natal.
Bagi masyarakat di wilayah Wonosari, Wonogiri maupun Madura, mudik sudah menjadi sebuah lagu wajib. Lagu yang harus dinyanyikan saat bulan Ramadhan mulai tiba. Seperti kita ketahui bersama, daerah-daerah ini merupakan daerah asal para pemudik dari ibu kota. Kondisi geografis yang membuat mereka harus meninggalkan tanah kelahiran mereka itu.
Segala persiapan sudah mereka lakukan. Berbagai bekal maupun oleh-oleh telah menggunung di kamar kontrakan maupun rumah mereka. Semua ini akan menjadi buah tangan yang luar biasa bagi sanak saudara di kampung. Satu hal yang harus dicatat, mudik juga menjadi sarana untuk menunjukkan prestasi yang mereka capai selama merantau. Jadi selain sarana silaturahmi, mudik juga mempunyai nilai prestise tersendiri bagi si pemudik sendiri maupun keluarga di kampung.
Namun semua itu ambyar  seketika (meminjam istilah Didik Kempot). Gara-gara virus Korona semua impian yang telah mereka renda selama setahun harus menguap tanpa bekas. Harapan untuk bertemu dengan keluarga di kampung hanya tinggal dalam angan belaka. Kalaupun kecanggihan teknologi menawarkan video call untuk silaturahmi, tetap saja ada yang kurang.
Palu godam yang membuyarkan angan mereka untuk mudik apalagi kalau bukan larangan mudik yang dikeluarkan oleh presiden Joko Widodo. Larangan ini disampaikan dalam rapat terbatas dengan video conference pada tanggal 21 April 2020 (nasional.kompas.com).Â
Terhitung mulai pukul 00.00 tanggal 24 April 2020, semua warga di ibu kota dan sekitarnya dilarang mudik. Larangan ini diikuti dengan pengerahan Polri, TNI, Dinas Perhubungan dan Satpol PP untuk menjaga titik-titik lintas para pemudik. Tindakan mengembalikan kendaraan pengangkut para pemudik menjadi salah satu cara pencegahan.
Jujur saja penyampaian larangan mudik oleh pemerintah merupakan keputusan yang berat. Bagaimanapun juga, mudik mempunyai arti yang sangat mendalam bagi siapapun. Dalam tradisi ini, begitu banyak sisi-sisi kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Namun demi menghentikan mata rantai penyebaran virus Korona, langkah ini harus diambil.
Kekhawatiran pemerintah berkaitan penyebaran virus Korona terkait para pemudik, Â bukan tanpa alasan. Contoh yang paling baru adalah sebuah kasus di kabupaten Magelang.Â
Dimana satu keluarga terdiri dari 5 orang terinfeksi virus Korona karena ayah mereka (news.detik.com). Profesi sang ayah yang menjadi sopir membuatnya harus ke luar kota setiap hari. Secara otomatis dia berhubungan dengan banyak orang. Entah karena kurang menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah, virus Korona yang dibawa sang ayah menyebar ke seluruh keluarga. Tindakan menganggap enteng oleh sebagian masyarakat dapat menimbulkan efek yang luar biasa bagi pihak lain.
Hal semacam inilah yang menjadi perhatian pemerintah. Penyebaran virus Korona akan menjangkau wilayah yang luas. Gerak penyebaran tak ubahnya downline dalam sistem multi level marketing bukan hal yang tidak mungkin. Jika satu orang menular pada 3 orang, maka dapat dibayangkan jika 100 orang yang menularkan berapa lagi yang akan tertular? Sungguh mengerikan.
Kekhawatiran yang dirasakan oleh pemerintah, ternyata berbanding terbalik dengan apa yang ada dalam benak para calon pemudik. Jika pemerintah berbicara tentang penyebaran virus Korona, mereka justru berbicara masalah urusan perut. Hancurnya sektor perekonomian berakibat pada terhentinya arus rupiah ke kantong mereka. Dan jika hal ini yang terjadi maka, urusan perut menjadi masalah yang tidak bisa ditolerir lagi.
Janji pemerintah tentang bantuan sosial, tetap tidak mampu menenangkan mereka. Prinsip mereka lebih baik mudik dari pada harus kelaparan di negeri orang. Karena di kampung mereka menganggap urusan perut akan lebih mudah teratasi. Atau mungkin mereka memegang ungkapan Jawa lama, mangan ora mangan kumpul.
Situasi rumit semacam ini jelas menerpa kedua belah pihak, baik pemerintah maupun kaum pemudik. Semua mempunyai alasan yang dapat diterima akal. Namun bagaimana lagi, keduanya ibarat di hadapkan pada buah simalakama. Jika dimakan mati ibu, kalau tidak di makan matilah sang ayah. Mana yang mau dikorbankan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H