Mohon tunggu...
Agus Setiadi Sihombing
Agus Setiadi Sihombing Mohon Tunggu... Penulis - Stay humble and being life-long learner!

Mewujudkan impian dengan menghadirkan mimpi bagi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesempatan Ketiga

30 Juni 2020   17:03 Diperbarui: 30 Juni 2020   17:08 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi hari di bawah hangatnya terik mentari, saya dan ibu saya tiba di rumah mertua abang saya di Kabupaten Simare-Mare, Kota Sibolga. Kala itu sedang hari raya Idulfitri sehingga kami dapat berlibur ke sana. Saat itu, umur saya baru menginjak tujuh tahun. Pada waktu itu pula saya masih tergolong anak yang cukup nakal.

Tiga hari setelah kami di sana, saya mulai bermain ria bersama anak tante saya. Waktu itu kami berdua asyik memanjat sebuah pohon yang tumbuh tepat di pinggiran tebing di depan rumah. Tebing itu cukup tinggi dan di bawah tebing tersebut berbaris pula beberapa rumah yang siap menampung maut dari atasnya, tak terkecuali dengan kami. Pohon di samping tebing tadi memiliki dua dahan yang terpisah. Di atas pohon itulah kami hanyut bercengkerama. Membahas pembicaraan yang tak menentu. Yang penting, pembicaraan tetap alot dan mengasyikkan.

Sesekali, kami berganti posisi dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Di sinilah peristiwa naas menimpa saya. Ketika saya hendak pindah ke dahan yang lain, tangan saya gagal meraih dahan dengan sempurna. Celakanya, saya jatuh berguling menggelindingi tebing di samping pohon itu. 

Seketika pikiran saya seperti berhenti beroperasi dan bak sedang bermimpi. Namun, saya sangat bersyukur, tangan Tuhan masih menyelamatkan hidup saya lewat sebatang kayu yang tumbuh di atas permukaan tebing yang curam itu. Kayu itu merajam mulut saya dan membuat saya tertahan di tengah ketinggian tebing.

Perlahan-lahan saya membuka mata. Penglihatan saya cukup samar-samar. Yang terlihat oleh saya hanyalah sebuah tangga yang digunakan warga untuk melintasi tebing. Itulah yang terus saya pandangi. Berharap akan ada orang yang lewat dan melihat saya.

 Mukzijat Tuhan nyata. Tuhan masih menginginkan saya hidup. Ada seorang bapak yang menuruni tangga dan melihat saya tersangkut di tengah tebing. Sontak ia memanggil warga yang lain dan lekas semua warga yang mendengar datang menolong saya. Semua orang menjadi panik lagi khawatir. Pikiran saya pun menjadi campur aduk. Untunglah, bapak tersebut dengan sigap dan baik hati mau menyelamatkan saya dan lekas menggendong saya ke atas tebing. 

Dengan segera mungkin saya mendapat pengobatan, berupa pengobatan tradisional. Di sela-sela pengobatan, saya melihat wajah ibu saya yang tampak sangat cemas. Bola matanya juga terlihat tampak sangat kaku, juga berkaca-kaca. Khawatir. Jujur, saya tak kuasa memandang wajahnya itu.


Tetapi syukurlah, obat tradisional itu sungguh mujarab. Buktinya saya dapat sembuh dalam hitungan hari hanya dengan menggunakan rempah tradisional berupa bawang putih, bawah merah dan jahe yang diiris halus dan dicampur dengan gula dan garam. Saya merasa sangat senang saat itu, karena saya dapat bermain ria lagi. Sama sekali belum jera. Masih seperti bocah kecil yang tak takut bahaya.

Dua tahun setelah kejadian saya jatuh dari tebing tersebut, saya dan teman-teman lainnya pergi ke sebuah sungai dengan amat semangatnya. Sungai itu baru saja diguyur hujan lebat sehingga air mengalir sangat deras dan ombaknya berderus kuat. Semua itu tidak berarti apa-apa dengan teman-teman saya, namun menjadi masalah besar bagi saya. Saya sadar, saya tidak bisa berenang.

Akan tetapi, agar terlihat jago di hadapan teman-teman, saya coba untuk memberanikan diri. Saya dekati pinggiran sungai, lalu mengamatinya sebentar dengan saksama. Pikiran saya campur aduk, tepat di perbatasan antara terjun ke dalam air atau mengurungkan niat. Namun, entah apa yang menghantui saya, dengan percaya dirinya saya melompat ke dalam sungai tersebut. 

Tidak ada ampun, seketika saya dihempas ombak dan terbawa arusnya. Saya sangat gugup lagi bingung. Mulut saya sepertinya sudah penuh dengan air. Saya semakin di ambang batas kehidupan. Saya menjadi pasrah. Berserah diri kepada Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun