Mohon tunggu...
Agus Setiadi Sihombing
Agus Setiadi Sihombing Mohon Tunggu... Penulis - Stay humble and being life-long learner!

Mewujudkan impian dengan menghadirkan mimpi bagi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Panggil Aku Sesuka Hatimu

22 September 2019   22:53 Diperbarui: 22 September 2019   23:16 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Termangu aku di pusaran dosa

Shaman-ku sirna

Karsa pun ranum terbawa 

nafsu dunia yang fana 

 

Ringkih hatiku mengenang kelamnya masa lalu

Dibungkus mafela kefasikan, mafsadah menjadi ciri khasku 

Rerimbun zalim menjadi lakuku, kebanggaanku

Sedang maha kasih-Mu, kuukir sudah menjadi awan kelabu 

Hutan penyimpan asa 

Harapan dan tumpuan sebagian manusia 

Tak kubiarkan menjulang tinggi ke udara 

Apalagi sampai membuahkan sukacita 

Baru beberapa tahun mengenal dunia 

Laksana mesin panasku akan segera menghabisinya, merajam dalam-dalam

Hingga satu pun dari antara mereka

tak bersisa

 

Perut bumi kukeruk habis 

Kubiarkan menganga begitu saja

Lantas laparnya tiba, manusia-manusia di sana 

kupersembahkan menjadi tumbalnya 

Santapan ternikmat baginya 

Korban pemuas dahaga

Uang diganti dengan nyawa 

Sungguh nilai hidup yang tak berharga

Pun tanpa merasa bersalah, tanpa menghiraukan Engkau sang Empunya Semesta

Khalikul Alam yang bertakhta di nirwana

Aku tetap menampilkan tawa 

Bersendawa ria, kenyang menikmati fatamorgana dunia

Di atas singgasana yang dibangun bak Ruma Gorga

Sebuah kebahagiaan yang durjana

 

Aku tidak pernah merasa takut, sebab pelat tungganganku berwarna pelangi

Pelat merah atau apa saja, semua diatur dalam jentikan jari

Didesain lihai berkamuflase, mengamankanku dari kata interogasi

Membuatku bebas menari ria 

Tak peduli jutaan jiwa

yang harus menanggung duka

 

Aku ingin menguasai dunia, membumikan Rupiah

Siapa yang peduli?

Teriak binatang menginginkan rumah mereka kembali

Ronta tumbuhan dalam layu ringkai yang menjadi-jadi

Manusia merengek 

menginginkan penyambung napas yang baru

Mengemis akan udara segar 

Udara yang ditelan habis 

oleh sang uang milik saudagar

 

Lihatlah mereka yang dikata Pengatur Negeri! 

Pelindung Masyarakat, benteng Bumi Pertiwi

Begitu mudahnya kugoda, bukan?

Kubuat duduk santai seraya tetap berpangku tangan

Kubuat melupa pada amanah 

Pada patri selarik sumpah 

 

Kini yang tersisa hanya anak kecil di ujung lorong sana

Seorang nirmala yang harus lahir dalam nestapa

Yang sedari tadi berteriak dalam ruang kedap suara

Membingkas untuk segera bersuara

Mengudarakan tanya yang telah lama menyesakkan dada

Dengan balutan luka ia mendongak ke angkasa:

"Apakah ini bumi tempat para manusia?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun