Termangu aku di pusaran dosa
Shaman-ku sirna
Karsa pun ranum terbawaÂ
nafsu dunia yang fanaÂ
Â
Ringkih hatiku mengenang kelamnya masa lalu
Dibungkus mafela kefasikan, mafsadah menjadi ciri khaskuÂ
Rerimbun zalim menjadi lakuku, kebanggaanku
Sedang maha kasih-Mu, kuukir sudah menjadi awan kelabuÂ
Hutan penyimpan asaÂ
Harapan dan tumpuan sebagian manusiaÂ
Tak kubiarkan menjulang tinggi ke udaraÂ
Apalagi sampai membuahkan sukacitaÂ
Baru beberapa tahun mengenal duniaÂ
Laksana mesin panasku akan segera menghabisinya, merajam dalam-dalam
Hingga satu pun dari antara mereka
tak bersisa
Â
Perut bumi kukeruk habisÂ
Kubiarkan menganga begitu saja
Lantas laparnya tiba, manusia-manusia di sanaÂ
kupersembahkan menjadi tumbalnyaÂ
Santapan ternikmat baginyaÂ
Korban pemuas dahaga
Uang diganti dengan nyawaÂ
Sungguh nilai hidup yang tak berharga
Pun tanpa merasa bersalah, tanpa menghiraukan Engkau sang Empunya Semesta
Khalikul Alam yang bertakhta di nirwana
Aku tetap menampilkan tawaÂ
Bersendawa ria, kenyang menikmati fatamorgana dunia
Di atas singgasana yang dibangun bak Ruma Gorga
Sebuah kebahagiaan yang durjana
Â
Aku tidak pernah merasa takut, sebab pelat tungganganku berwarna pelangi
Pelat merah atau apa saja, semua diatur dalam jentikan jari
Didesain lihai berkamuflase, mengamankanku dari kata interogasi
Membuatku bebas menari riaÂ
Tak peduli jutaan jiwa
yang harus menanggung duka
Â
Aku ingin menguasai dunia, membumikan Rupiah
Siapa yang peduli?
Teriak binatang menginginkan rumah mereka kembali
Ronta tumbuhan dalam layu ringkai yang menjadi-jadi
Manusia merengekÂ
menginginkan penyambung napas yang baru
Mengemis akan udara segarÂ
Udara yang ditelan habisÂ
oleh sang uang milik saudagar
Â
Lihatlah mereka yang dikata Pengatur Negeri!Â
Pelindung Masyarakat, benteng Bumi Pertiwi
Begitu mudahnya kugoda, bukan?
Kubuat duduk santai seraya tetap berpangku tangan
Kubuat melupa pada amanahÂ
Pada patri selarik sumpahÂ
Â
Kini yang tersisa hanya anak kecil di ujung lorong sana
Seorang nirmala yang harus lahir dalam nestapa
Yang sedari tadi berteriak dalam ruang kedap suara
Membingkas untuk segera bersuara
Mengudarakan tanya yang telah lama menyesakkan dada
Dengan balutan luka ia mendongak ke angkasa:
"Apakah ini bumi tempat para manusia?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H