Halimah sudah keluar dari rumah mertuanya, mungkin tidak betah berlama-lama dengan sikap cerewetnya. Darto pun mengikuti keinginan istrinya, mereka pun tinggal di sebuah kontrakan kecil, bersama anak mereka yang masih berumur sembilan tahun. Namanya Bagas. Kontrakan itu dekat kebun mangga, letaknya jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
"Gimana kontrakannya Dek? Bagus toh?" tanya Darto pada istrinya yang masih melihat seisi rumah.
"Ya lumayanlah, Mas, sesuai dengan gaji Mas juga."
"Yo wis, sekarang kamu ajak Bagas ke kamarnya!"
"Baik Mas."
Mungkin kontrakan Halimah sekarang berbeda dengan rumah mertuanya dulu. Kamar ini sempit dan hanya cukup untuk dua orang, sementara kamar mandinya berada di luar. Jika ingin buang air besar di malam hari, Halimah harus sanggup menghilangkan ketakutan dalam dirinya. Terlebih lagi, kamar mandi itu berada di dekat pohon bambu. Suasana begitu sepi, cenderung menakutkan.
Langkah Halimah tertatih, bulu kuduknya meremang. Hingga sebuah bayangan lewat, mengejutkan dirinya yang sudah ketakutan. Wanita itu mencoba tenang, tapi semuanya percuma. Ia pun kembali ke rumah, perasaannya tidak tenang malam itu. Halimah masih berpikir, tentang siapa yang lewat barusan. Pasti ada hantu di sekitar rumahnya, ia harus melakukan pengajian. Halimah pun kembali ke kamarnya, menemani Bagas yang masih terlelap dalam tidurnya.
"Mas." Halimah memanggil suaminya yang berada di teras, menikmati kopi di pagi yang cerah itu.
"Ya Dek, ada apa toh?"
"Sepertinya kita harus mengadakan pengajian!"
"Buat apa toh melakukan itu?"
"Ya, supaya rumah kita berkahlah Mas."
"Ya sudah, besok saja kita adakan!"
"Nggeh Mas."
Keesokan harinya, sehabis isya pengajian dilaksanakan di rumah Halimah. Namun, rumah itu seakan menolak semuanya. Hujan deras datang mengguyur, tapi pengajian itu masih dilaksanakan. Darto dan sekeluarga berharap, tak ada lagi masalah yang mengganggu lagi. Pengajian itu akhirnya selesai dengan lancar. Halimah merasa senang, ia memeluk suaminya erat.
"Kok meluk-meluk toh?"
"Kan aku istri Mas, masa nggak boleh?"
"Ya sih nggak apa-apa, tapi tumben aja?"
"Aku seneng Mas, semuanya lancar."
"Ya Dek." Sekarang giliran Darto memeluk istrinya erat, bahkan mencium keningnya.
***
"Bagas!!!" teriak Halimah sambil berlari mengejar Bagas yang diculik oleh pocong, ia sangat panik.
"Tolong!!!" teriaknya meminta pertolongan, tapi tiada seorang pun yang mendengarnya.
Halimah berhasil menyusul pocong itu, Bagas masih berada dalam cengkeramannya. Ia gemetar, melihat pocong dengan matanya yang merah dan wajah berlumur darah. Namun, ia tidak boleh menyerah untuk mendapatkan Bagas kembali.
"Lepaskan anakku!" pinta Halimah, keringatnya bercucuran karena berlari tadi.
"Tidak akan." Suaranya parau dan menggertak Halimah untuk mundur.
"Kalau kamu tidak mau, maka akan kubuat kamu menyerah!"
Halimah membaca ayat kursi, meskipun tenggorokannya terasa tercekat. Ia berusaha sekuat tenaganya, air matanya menetes. Hantu itu pun melepaskan Bagas, lalu pergi entah kemana. Mungkin ketakutan dengan ayat suci. Bagas pun digendong oleh Halimah, wanita itu merasa bersyukur bisa kembali bersama anaknya.
Rupanya semua itu hanyalah mimpi. Halimah terbangun dari tidurnya, ia lalu melangkah ke dapur untuk memasak makanan. Wanita itu masih memikirkan mimpinya semalam, mimpi itu seolah kenyataan. Ia berpikir ada yang aneh dengan rumahnya, ada sebuah misteri yang menyelimutinya.
***
Halimah masih melipat baju, sementara suaminya masih belum pulang malam itu. Malam terasa sunyi dan dingin, bulu kuduk Halimah tiba-tiba meremang. Hingga sebuah suara mengejutkan wanita itu. Suaranya seperti seorang nenek memanggilnya, Halimah pun mendekat ke arah suara itu.
"Kemarilah Nduk!"Â
Halimah pun duduk di dekatnya, nenek itu masih belum memperlihatkan wajahnya. Rambutnya yang putih dan panjang menutupi pandangan. Nenek itu membawa tongkat dan menunduk ke bawah, Halimah masih menunggu nenek itu untuk berbicara. Namun, nenek tua itu masih diam tanpa bersuara sedikitpun.
"Aku ngerti kamu itu orang baik, jagalah keluargamu!" pinta nenek itu, lalu tiba-tiba wujudnya sudah hilang dari pandangan Halimah.
Halimah masih tak habis pikir. Siapa sebenarnya wanita itu? Apa maksud perkataannya barusan? Halimah merasa bingung dengan semua yang terjadi. Tapi dia memang harus waspada dengan apapun yang terjadi selanjutnya. Nenek itu pasti memberikan sebuah petunjuk, kebenaran akan terbongkar sebentar lagi. Halimah akan menguak semuanya, mengenai rumah dan hubungannya dengan nenek tadi.
"Aku tadi bertemu nenek tua Mas." Halimah bercerita pada suaminya yang masih menikmati sarapan.
"Nenek siapa Dek?"
"Sepertinya bukan manusia Mas." Perkataan Halimah membuat suaminya tersedak makanan.
"Maksudmu gimana?"
"Dia meminta kita untuk waspada, lalu lenyap begitu saja mas."
"Sudahlah, jangan dipikirkan terus!"
Suara langkah berlari membuat Darto dan istrinya terkejut, mereka pun keluar rumah untuk melihat. Ternyata, ada seorang bapak yang berlari ketakutan. Darto pun meminta bapak itu untuk berhenti, lalu mengajaknya ke rumah. Kepanikan masih belum hilang dari wajah pria paruh baya itu.
"Rumah sampean ini berhantu, saya habis melihat genderuwo tadi." Kata bapak itu menceritakan kejadian yang menimpanya.
"Maksudnya gimana pak?" tanya Darto masih tidak mengerti.
"Sampean sekeluarga harus segera pindah! Rumah ini bukan tempat yang aman untuk kalian sekeluarga."
Bapak itu pamit pulang setelah meminum kopinya. Sementara Darto masih memikirkan kata-kata bapak itu, apakah mereka harus pindah secepat itu? Darto masih bingung untuk mengambil keputusan. Halimah tidak bisa tidur memikirkan semuanya, apalagi tentang genderuwo penunggu pohon mangga itu. Ia takut, jika nanti keselamatan keluargamya terancam. Halimah harus segera membujuk suaminya, untuk pindah dari kontrakan itu secepatnya.
***
"Nduk, pagi begini sudah bangun ya?"
"Nggeh Pak, bapak sedang memetik mangga?"
"Ya, ini buat keluargamu!" bapak itu menyerahkan satu kantung plastik berisi mangga.
"Wah terimakasih pak, perkenalkan saya Halimah istrinya Darto, kami tinggal di rumah itu."
"Oh begitu, namaku Pak Sugimin pemilik kebun mangga ini."
"Ya pak, mau mampir ke rumah?"
"Tidak perlu Nduk, bapak mau pulang dulu, permisi!"
"Nggeh Pak."
Halimah mencari Bagas ke setiap sudut rumah, tapi anak itu tak ditemukan juga. Wanita itu panik mencarinya, ia takut jika perkataan nenek tua itu benar. Saat ini keselamatan keluarganya benar-benar terancam. Waktu sudah menjelang malam, Bagas masih belum pulang sampai sekarang. Halimah menangis dalam dekapan suaminya, ia begitu khawatir dengan keadaan anaknya.Â
Suara kentongan dan teriakan warga menggema, tapi keberadaan Bagas masih belum ditemukan. Halimah terus berdoa di dalam hati, semoga ia segera kembali bersama anaknya. Darto bertanya pada Pak Sugimin mengenai keberadaan Bagas, tapi bapak itu memiliki gelagat mencurigakan. Sehingga Darto dan warga memutuskan memeriksa rumahnya. Ternyata Pak Sugimin yang telah menculik Bagas, bapak itu pun ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Di sana Pak Sugimin menceritakan semuanya, bahwa dulu ibunya adalah orang terkaya sekampung Dadhap. Ibunya menjadi janda setelah suaminya meninggal, suaminya telah dijadikan tumbal untuk pesugihan sang ibu. Pesugihan genderuwo yang meminta tumbal dan sesajen di malam jumat kliwon. Kebun mangga itu telah dijaga oleh genderuwo, sampai akhirnya sang ibu meninggal karena dijadikan tumbal juga. Pak Sugiminlah yang meneruskan pesugihan itu, bahkan hampir menjadikan Bagas sebagai tumbal selajutnya.
Setelah kejadian itu, Pak Sugimin dimasukkan ke dalam penjara. Sementara Darto dan keluarganya memilih untuk pindah dari kontrakan itu. Kontrakan yang mereka tinggali memang sudah tidak aman, beruntung mereka masih diberikan keselamatan oleh Tuhan. Halimah berharap setelah mereka pindah, tak ada kejadian yang mengganggu keluarganya lagi. Semoga tak ada lagi orang yang berpikiran untuk melakukan pesugihan, karena masih banyak pekerjaan halal yang bisa dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H