Dalam bagian ini, Herring mengkritik asumsi bahwa "segala sesuatu ada di internet," yang menurutnya adalah sebuah mitos. Ia menunjukkan bahwa banyak informasi berharga yang tersimpan di dalam database yang hanya dapat diakses melalui langganan, serta materi yang hanya tersedia dalam format fisik. Selain itu, ia juga menekankan bahwa kualitas informasi di internet sering kali tidak terjamin karena tidak adanya proses kurasi dan penyuntingan yang ketat seperti yang ada di perpustakaan.
Selanjutnya pada bagian kedua, Herring menekankan pentingnya perpustakaan untuk merespon tantangan sosial dan etika informasi di era digital.
perusSeakan ingin menjelaskan bahwa perpustakaan tidak hanya melulu tentang akses informasi, tetapi yang juga sangat penting adalah perlunya perpustakaan memperluas diskusi tentang tantangan yang muncul dengan berkembangnya dunia digital. Ia mengidentifikasi empat isu utama: kebiasaan membaca, literasi, privasi, dan pembajakan.Â
Menurut Herring, peralihan ke media digital dapat mengakibatkan perubahan dalam kebiasaan membaca dan tingkat literasi, di mana pembaca lebih banyak mengonsumsi konten yang singkat dan dangkal daripada bacaan yang mendalam dan analitis.Â
Tentu saja, perubahan ini tidak hanya berkaitan dengan gaya hidup seseorang dalam akses informasi, akan tetapi berdampak luas bagi pembentukan pribadi seseorang, termasuk dalam pembentukan kompetensi. Isu tentang generasi Z yang kesulitan dalam mencari pekerjaan sangat dimungkinkan sebagai akibat perubahan tersebut, dan ketiadaan institusi yang memberikan perhatian dari dampak perubahan tersebut.
 Lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang ada seperti sekolah dan bahkan perguruan tinggi tidak banyak memberikan perhatian terhadap perpustakaan. Perpustakaan yang seharusnya menjadi garda dalam pembentukan masyarakat pembaca dan peningkatan literasi sering diabaikan.
Selain persoalan peningkatan budaya baca dan literasi, Herring juga menyoroti perpustakaan mengedukasi pentingnya isu privasi di era digital. Banyak kasus-kasun data pribadi seseorang sering kali disalahgunakan oleh perusahaan teknologi besar sebagai akibat dari kemudahan akses informasi, termasuk informasi personal.Â
Isu lain yang tidak kalah penting direspon perpustakaan adalah berkaitan dengan pembajakan informasi atau karya. Herring mengkritik fenomena pembajakan yang semakin marak karena mudahnya penyebaran informasi digital secara ilegal. Ia berargumen bahwa perpustakaan harus memainkan peran aktif dalam mendidik masyarakat tentang pentingnya literasi digital dan etika penggunaan informasi.
Pada bagian ketiga, Herring mencoba mengasumsikan masa depan perpustakaan di era digital. Dalam kesempatan ini, Herring memaparkan dua skenario utama yang mungkin terjadi, yaitu pertama bahwa perpustakaan menjadi usang dan hilang ditelan zaman atau menjadi punah karena kalah bersaing dengan perubahan, khususnya teknologi internet, dan kedua adanya kondisi di mana perpustakaan harus beradaptasi dengan era digital dan tetap menjadi pusat pengetahuan yang vital.Â
Pada skenario pertama, Herring belum menyertakan penjelasan tentang teknologi kecerdasan buatan yang juga berpotensi menggantikan peran pustakawan.
Ia kemudian mengusulkan bahwa perpustakaan perlu mengembangkan strategi untuk mengintegrasikan teknologi digital, tentu termasuk teknologi kecerdasan buatan tanpa kehilangan nilai-nilai tradisional perpustakaan. Dalam skenario kedua atau yang diusulkan adalah bahwa perpustakaan ke depan harus menjadi lembaga yang mampu menggabungkan sumber daya digital dalam layanan perpustakaan tradisionalnya.Â