Mohon tunggu...
goesrifai
goesrifai Mohon Tunggu... Pustakawan - Librarian

Membumikan Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengargumentasikan Kembali Perpustakaan di Era Digital

22 September 2024   06:00 Diperbarui: 22 September 2024   17:36 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sengaja judul tulisan ini diawali dengan ungkapan "Mengargumentasikan Kembali". Ini karena tulisan dengan topik yang sama sudah banyak ditulis. Akan tetapi, saya ingin mengulasnya kembali berdasarkan satu buku yang ditulis oleh ahli yang bernama Mark Y. Herring dalam bukunya yang berjudul "Are Libraries Obsolete? An Argument for Relevance in the Digital Age". 

Menurut hemat saya, buku yang diterbitkan tahun 2014 oleh penerbit McFarland & Company, Inc, North Carolina, ini cukup bagus menjadi rujukan, atau dalam bahasa santri menyebutnya sanad akademik. 

Sebuah sumber menyebutkan bahwa Mark Y. Herring adalah seorang pustakawan dan akademisi berpengalaman yang telah lama berkecimpung di dunia perpustakaan dan literasi informasi.

Selain pernah menjadi kepala atau disebutnya sebagai Dekan Perpustakaan di Winthrop University, South Carolina, Amerika Serikat, Herring juga dikenal karena pandangan kritisnya terhadap perkembangan teknologi digital dan dampaknya terhadap perpustakaan tradisional. Herring juga telah menulis berbagai buku serta artikel yang membahas peran perpustakaan dalam masyarakat modern.

Buku "Are Libraries Obsolete? An Argument for Relevance in the Digital Age" karya Mark Y. Herring merupakan sebuah karya yang menawarkan pandangan modern tentang peran dan keberadaan perpustakaan di era informasi digital. 

Herring, yang memiliki pengalaman panjang di bidang perpustakaan, menawarkan perspektif kritis terhadap pandangan umum yang menganggap internet sebagai pengganti yang memadai bagi perpustakaan. 

Dengan karakter kritis dengan gaya analitis dan penuh wacana, Herring dalam buku ini memetakan tantangan yang dihadapi perpustakaan, menyoroti pentingnya peran perpustakaan dan mengeksplorasi kemungkinan masa depan perpustakaan di tengah perkembangan teknologi yang pesat.

Buku yang menjadi rujukan argumentasi ini terdiri atas tiga bagian utama. Bagian awal dari buku tersebut, Herring menjelaskan relevansi perpustakaan di era digital. Meskipun sebagian besar isinya pengulangan dan pembaruan dari argumen Herring dari tulisan sebelumnya yang berjudul "10 Reasons Why the Internet Is No Substitute for a Library".

Dalam bab ini, Herring berusaha mengeksplorasi bagaimana perpustakaan tetap relevan meskipun di tengah popularitas internet. Meskipun internet menyajikan akses informasi yang luas, namun tidak semua informasi berkualitas dan terverifikasi tersedia secara bebas.

 Herring juga menunjukkan bahwa perpustakaan memberikan akses ke sumber daya yang tidak tersedia di internet, seperti jurnal akademik berbayar dan buku-buku yang tidak didigitalkan.

Dalam bagian ini, Herring mengkritik asumsi bahwa "segala sesuatu ada di internet," yang menurutnya adalah sebuah mitos. Ia menunjukkan bahwa banyak informasi berharga yang tersimpan di dalam database yang hanya dapat diakses melalui langganan, serta materi yang hanya tersedia dalam format fisik. Selain itu, ia juga menekankan bahwa kualitas informasi di internet sering kali tidak terjamin karena tidak adanya proses kurasi dan penyuntingan yang ketat seperti yang ada di perpustakaan.

Selanjutnya pada bagian kedua, Herring menekankan pentingnya perpustakaan untuk merespon tantangan sosial dan etika informasi di era digital.

perusSeakan ingin menjelaskan bahwa perpustakaan tidak hanya melulu tentang akses informasi, tetapi yang juga sangat penting adalah perlunya perpustakaan memperluas diskusi tentang tantangan yang muncul dengan berkembangnya dunia digital. Ia mengidentifikasi empat isu utama: kebiasaan membaca, literasi, privasi, dan pembajakan. 

Menurut Herring, peralihan ke media digital dapat mengakibatkan perubahan dalam kebiasaan membaca dan tingkat literasi, di mana pembaca lebih banyak mengonsumsi konten yang singkat dan dangkal daripada bacaan yang mendalam dan analitis. 

Tentu saja, perubahan ini tidak hanya berkaitan dengan gaya hidup seseorang dalam akses informasi, akan tetapi berdampak luas bagi pembentukan pribadi seseorang, termasuk dalam pembentukan kompetensi. Isu tentang generasi Z yang kesulitan dalam mencari pekerjaan sangat dimungkinkan sebagai akibat perubahan tersebut, dan ketiadaan institusi yang memberikan perhatian dari dampak perubahan tersebut.

 Lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang ada seperti sekolah dan bahkan perguruan tinggi tidak banyak memberikan perhatian terhadap perpustakaan. Perpustakaan yang seharusnya menjadi garda dalam pembentukan masyarakat pembaca dan peningkatan literasi sering diabaikan.

Selain persoalan peningkatan budaya baca dan literasi, Herring juga menyoroti perpustakaan mengedukasi pentingnya isu privasi di era digital. Banyak kasus-kasun data pribadi seseorang sering kali disalahgunakan oleh perusahaan teknologi besar sebagai akibat dari kemudahan akses informasi, termasuk informasi personal. 

Isu lain yang tidak kalah penting direspon perpustakaan adalah berkaitan dengan pembajakan informasi atau karya. Herring mengkritik fenomena pembajakan yang semakin marak karena mudahnya penyebaran informasi digital secara ilegal. Ia berargumen bahwa perpustakaan harus memainkan peran aktif dalam mendidik masyarakat tentang pentingnya literasi digital dan etika penggunaan informasi.

Pada bagian ketiga, Herring mencoba mengasumsikan masa depan perpustakaan di era digital. Dalam kesempatan ini, Herring memaparkan dua skenario utama yang mungkin terjadi, yaitu pertama bahwa perpustakaan menjadi usang dan hilang ditelan zaman atau menjadi punah karena kalah bersaing dengan perubahan, khususnya teknologi internet, dan kedua adanya kondisi di mana perpustakaan harus beradaptasi dengan era digital dan tetap menjadi pusat pengetahuan yang vital. 

Pada skenario pertama, Herring belum menyertakan penjelasan tentang teknologi kecerdasan buatan yang juga berpotensi menggantikan peran pustakawan.

Ia kemudian mengusulkan bahwa perpustakaan perlu mengembangkan strategi untuk mengintegrasikan teknologi digital, tentu termasuk teknologi kecerdasan buatan tanpa kehilangan nilai-nilai tradisional perpustakaan. Dalam skenario kedua atau yang diusulkan adalah bahwa perpustakaan ke depan harus menjadi lembaga yang mampu menggabungkan sumber daya digital dalam layanan perpustakaan tradisionalnya. 

Perpustakaan harus bisa berkolaborasi dengan penyedia teknologi untuk menyediakan akses yang lebih luas ke sumber-sumber informasi digital, dengan terus mempertahankan dan memperkuat perannya sebagai garda dan gerbong penggerak tradisi membaca, penguat literasi, dan menjadi pusat pembelajaran komunitas.

Uraian di atas setidaknya memberikan pandangan yang mendalam meskipun agak terasa provokatif tentang masa depan perpustakaan. Meskipun demikian seperti juga dikemukakan Herring, bahwa hal ini menyajikan argumen yang baik tentang mengapa perpustakaan tetap relevan, dan menawarkan wawasan yang berharga bagi siapa saja yang tertarik dengan masa depan perpustakaan di era digital. Meskipun internet menawarkan banyak kemudahan, perpustakaan tetap memiliki peran yang tak tergantikan dalam menyediakan informasi yang berkualitas dan terorganisir. 

Perpustakaan tidak hanya tentang buku, tetapi tentang akses yang adil terhadap pengetahuan, peran pustakawan sebagai profesional informasi, dan dukungan komunitas yang tidak dapat digantikan oleh internet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun