Belajar bagaimana pemerintah China bisa memajukan negaranya sampai seperti sekarang ini, adalah sebuah langkah yang semestinya dilakukan oleh negeri-negeri berkembang termasuk Indonesia. Karena pemerintah Cina sendiri dalam sejarahnya juga pernah melakukan pembelajaran intensif ke negara lainnya, yaitu agar negerinya bisa maju dan moderen. Dalam hal ini pemerintah Cina pernah belajar dan study banding ke pemerintah Singapura yaitu pada waktu dipimpin oleh Deng Xiaoping (1978-1990). Itu diawali dengan kunjungan kenegaraan Deng Xiaoping ke Singapura.
Waktu itu pada bulan Nopember 1978 Deng Xiaoping yang menggantikan Mao Zedong, melakukan kunjungan kerja ke Bangkok dan Kualalumpur, yang selanjutnya menuju ke Singapura bertemu dengan perdana menteri Lee Kuan Yew.
Cerita mengenai kunjungan itu, dimuat di harian Newyork Times; “In Lee Kuan Yew, China Saw a Leader to Emulate”, tanggal 23 Maret 2015. Wartawan Newyork Times, Chris Buckley, dalam tulisannya waktu itu mengemukakan bagaimana Deng Xiaoping pada tahun 1978 berkunjung ke negara kecil Singapura. Dan tulisan itu merupakan bagian dari rangkaian mengenang wafatnya pimpinan Singapuran waktu itu Lee Kuan Yew.
Dikemukakannya, mengacu pada hasil wawancara dengan Professor Huang, dari National University of Singapore, waktu itu pemerintah China katanya tertarik dengan kemajuan Singapura dan ingin mempelajari bagaimana pemerintahan dan politik dikelola, lalu bagaimana Singapura bisa menjadi maju dan moderen. Kebetulan juga Singapura dan China sama-sama memiliki 1 partai politik.
Kesimpulannya pemerintah China ketika itu ingin seperti Singapura yaitu dengan belajar serius tentang kemajuan negara kota itu. Lalu sebagai tindak lanjut dari kunjungan itu, dari tahun 1980-an sampai 2011, pemerintah China mengirimkan sampai dengan 22.000 orang pejabat. Data dari wartawan Newyork Times itu mengacu pada kajian yang dilakukan oleh Mark R. Thompson dan Stephan Ortmann, dari the City University of Hong Kong.
Sedangkan Deng Xiaoping sendiri ketika ditanya tentang kemajuan Singapura, pada waktu itu beliau mengatakan; “The social order in Singapore is quite good. They run things strictly, and we should borrow from their experiences, and run things even better than they do.”
Jadi dari kisah China belajar ke Singapura itu, kita juga bisa menyimpulkan bahwa untuk bisa seperti China yang sekarang ini yaitu menjadi negara maju dan rakyatnya makmur, maka tentu saja kita harus belajar sebab-sebab dari kemajuan China itu. Lalu sambil jalan menerapkannya di negeri kita.
Untuk bisa sebagai pembelajar yang baik dan berhasil mengikuti jejak China, maka tentu saja sebelumnya kita juga harus bisa memposisikan diri kita agar menjadi murid yang baik yaitu murid yang mau mengakui kemajuan dan prestasi orang ataupun negara lain dalam hal ini pemerintah China lalu memiliki keinginan kuat untuk belajar. Dan dalam agama Islam sendiri juga sudah sejak lama ada tuntunan dari Nabi yang mengatakan; “Tuntutlah ilmu, walau sampai ke negeri China”.
Adapun murid yang baik itu adalah murid yang memiliki etika sebagai pelajar, sehingga ilmu bisa mengalir masuk. Dan etika dari seorang pelajar yang baik adalah;
- Menghormati guru dan menjaga sikap agar guru tidak kecewa. Menghormati guru dimanapun berada.
- Murid harus bersikap rendah hati, tidak boleh pongah dan keras hati terhadap guru.
- Murid juga harus membina hubungan yang baik dan harmonis dengan guru, tidak menjelek-jelekkan dan tidak berburuksangka padanya.
Tampaknya etika sebagai murid yang baik ini yang sekarang ini masih jadi tantangan kaitannya dengan belajar dari negeri China. Masalahnya adalah masih ada dari sebagian masyarakat di Indonesia yang belum bisa memposisikan diri sebagai murid dan memposisikan China sebagai guru.
Bagi sebagaian masyarakat kita, negeri China itu bahkan dikatakan atau dianggap bukan guru ataupun tempat untuk belajar. Melainkan China itu menurut mereka justru adalah penjahat, monster yang menakutkan, negeri komunis yang siap membangkitkan PKI di Indonesia untuk berkuasa. Lalu ‘kekejaman’ pemerintah China dalam menangani masalah muslim Uyghur, semakin menambah peningkatan hujatan dan makian ke pemerintah China.
Pandangan terhadap pemerintah China yang seperti itu terlihat dan bisa dibaca melalui teks berita, gambar dan video yang berseliweran di media sosial. Banyak orang menulis dan bicara di media sosial yang mengemukakan bahwa pemerintah China adalah komunis yang sedang bekerjasama dengan PKI di Indonesia, untuk mengendalikan NKRI, tanpa ada dasar sedikitpun dari apa yang ditulis itu.
Gambaran mengenai pemerintah China oleh sebagian orang Indonesia itu juga didukung oleh hasil survey yang dilakukan oleh lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Survei nasional tersebut dilakukan pada 23-26 September 2020 yang lalu dengan melibatkan 1203 responden yang diwawancara per telepon yang terpilih secara random. Margin of error diperkirakan 2,9 persen.
Survei itu bertajuk "Sikap Publik atas Isu Kebangkitan PKI" secara daring, dengan pertanyaan penting yaitu; Apakah kerja sama Indonesia dan Tiongkok dapat menghidupkan kembali paham komunis dan PKI di Indonesia?”
Walaupun publik 47 persen menganggap kerja sama Indonesia dan Cina murni bisnis yang saling menguntungkan, dan tidak ada kaitan dengan paham komunis atau PKI menurut survey itu, tetapi ternyata masih ada 26 persen yang masih berpendapat setuju dengan pernyataan itu.
Lalu dari yang setuju itu dari latar belakang provinsi ternyata juga berbeda-beda persentasenya, diantaranya; yang tinggal di Bali dan Nusa Tenggara (53 persen), Jawa Barat (39 persen), dan Kalimantan (38 persen). Dan di daerah lainnya, persentasenya di bawah 30 persen.
Kemudian dari sisi agama, dari responden yang beragama Islam yang setuju dengan pendapat tersebut hanya 26 persen, sementara yang beragama lainnya 33 persen.
Dan ternyata 40 persen dari pemilih Prabowo pada Pilpres 2019 setuju dengan pendapat tersebut, sedangkan hanya 21 persen dari pemilih Jokowi yang setuju.
Karena itu dengan etika dan sikap sebagai murid yang seperti itu maka tentu saja akan sulit untuk bisa berguru dari pengalaman China.
Walaupun demikian di tingkat pemerintahan, kita patut bersyukur, ternyata presiden Jokowi tidak ikut-ikutan dengan kelompok yang 26 persen itu, yaitu dengan ikut-ikutan memaki-maki pemerintah China. Masalahnya perdana menteri Australia Scott Morrison yang bersuara keras terkait penanganan muslim Uyghur dan penulusuran independen terkait asal muasal pandemi corona di China, akhirnya dibalas juga oleh pemerintah China yaitu dengan sangsi perdagangan. Seperti diketahui sejumlah komoditi dari Australia yaitu anggur, lobster, daging, gula, katun, batu bara dan lainnya tidak diberikan masuk ke China atau diberikan tarif tinggi yang tidak masuk akal, sejak tahun lalu, akibatnya Australia menangis.
Komunis sudah ditinggal di China
Jadi dengan fakta adanya sebagian dari masyarakat Indonesia yang seperti itu, tentu saja akan sulit bisa belajar dari kemajuan negeri China, karena tidak akan bisa secara etika, yang dicap musuh akan bisa menjadi guru.
Karena itulah sudah waktunya kita seluruh rakyat Indonesia berpikir tenang dan tidak emosional, lalu mencoba melakukan penelusuran terhadap apa yang disangkakan ke pemerintah China untuk melihat kebenarannya. Karena kebanyakan tuduhan yang dialamatkan ke pemerintah China itu lebih banyak didasarkan pada prasangka buruk serta kepentingan politik. Dan itu tidak saja di Indonesia saja tapi terutama dari negara-negara Barat yang cemburu dengan kemajuan China.
Satu dari tuduhan itu adalah masalah penyebaran ideologi komunisme ke negara lain termasuk ke Indonesia, sehingga dikhawatirkan akan membangkitkan PKI disini. Pastinya tuduhan ini tak berdasar, karena sekarang ini di China ideologi komunis sudah ditinggal. Yang ada hanya tinggal namanya saja, paling tidak dari segi ideologinya. Perjuangan kelas dari kaum proletar ataupun petani miskin terhadap kelas borjuis serta tuan tanah, yang difasilitasi oleh Partai Komunis sudah tidak lagi dilaksanakan.
Demikian pula ajaran agama bisa dilaksanakan dan disebarluaskan dengan bebas, karena Undang Undang Dasar China membolehkannya. Termasuk kebebasan melaksanakan kepercayaan atheis. UUD China yang diamandemen tahun 1978, pasal 45 menyebutkan; “Citizens enjoy freedom to believe in religion and freedom not to believe in religion and to propagate atheism.”
Ketentuan pada UUD China itu diperkuat lagi dengan keberadaan dokumen yang cukup terkenal di China yaitu Dokumen Nomor 19 (Shijiu Hao Wenjian) yang dikeluarkan pada Maret 1982. Dalam dokumen itu ditegaskan; “Menghormati dan melindungi kebebasan keagamaan adalah kebijakan fundamental partai. Ini adalah kebijakan jangka panjang, adalah kebijakan yang akan diejawantahkan dengan teguh dan sungguh-sungguh” sebab ini adalah “satu-satunya kebijakan keagamaan yang benar serta sesuai dengan kepentingan rakyat.”
Karena itu, “perbuatan apa pun yang memaksa yang tidak beragama untuk beragama, adalah sama halnya dengan memaksa yang beragama untuk tidak beragama, [itu] semua melanggar kebebasan keagamaan orang lain, dan karenanya adalah kesalahan fatal sekaligus mutlak tidak diperbolehkan.” (Novi Basuki, “Partai Komunis Cina Hendak Membungkam Islam?”)
Dan yang pasti, pemerintah China sangat anti ikut campur dengan urusan dalam negeri negara lain, sehingga tidak akan berurusan dengan PKI di Indonesia.
Kemudian dalam hal sistem ekonomi, yang terjadi sekarang di China sebenarnya sama saja dengan yang dilaksanakan di negara lainnya yaitu kapitalisme yang dikendalikan oleh negara. Bahkan dalam hal kapitalisme ini, China justru mengalahkan si raja kapitalis Amerika Serikat, dimana neraca perdagangan kedua negara selalu menguntungkan China.
Bahkan dalam hal jumlah orang kaya (billiuner) di dunia ini, China sekarang ini justru sudah jauh mengungguli USA dan seluruh negara lainnya. Menurut data yang dipublikasikan oleh media Singapura, The Straits Time, mengacu pada data Hurun Global Rich List 2021, sampai dengan Maret tahun 2021 ini, jumlah billioner di China sudah mencapai 1.056 orang jauh diatas USA yang mencapai 696 orang. Dan khusus untuk tahun 2020 yang baru lalu, di tengah badai pandemi covid 19, China berhasil menambah billioner baru sebanyak 259 orang, sementara USA hanya 70 orang.
Jadi komunisme di China adalah orde lama yang sudah ditinggal, yaitu ketika China masih dipimpin oleh Mao Zedong (1949-1976). Memang betul, kalau pada masa kepemimpinan Mao Zedung yang merupakan pendiri dari Partai Komunis China itu maka jelaslah, penderitaan rakyat China tak terperikan, puluhan juta rakyat China dibunuh dengan gampang seperti membunuh semut.
Untuk sekedar gambaran bagaimana gelapnya zaman Mao Zedong di China, berikut daftar pembunuhan massal yang dilaksanakan ketika diterapkan paham komunis;
- Reformasi agraria dan pembersihan kontra revolusi
Di awal berdirinya pemerintahan komunis dibawah Mao Zedong dilakukan reformasi agraria dimana tanah diambil dari para tuan tanah dengan paksa untuk dibagikan melalui pertanian komune. Diperkirakan sekitar 1 juta tuan tanah dieksekusi pada waktu itu.
Bersamaan dengan revolusi agraria ini ada juga pembersihan sisa-sia loyalis dari partai Kuomintang yang lari ke Taiwan. Paling tidak menurut yang dipublikasikan di Wikipedia, ada 712.000 orang pejabat dan intelektual Kuomintang yang dieksekusi dan 1.290.000 orang yang dipenjara di kamp konsentrasi.
- Kebijakan Lompatan jauh kedepan (Great Leap Forward) dan bencana kelaparan (great Chinese famine)
Lompatan jauh kedepan adalah repelita kedua di China dari tahun 1958-1962, dimana menurut analis Barat, kebijakan inilah selain iklim yang tidak mendukung, yang mengakibatkan bencana kelaparan hebat di China dengan korban diperkirakan antara 15 sampai 55 juta orang.
- Revolusi Kebudayaan (Cultural Revolution)
Revolusi ini berlangsung selama lebih dari 10 tahun dari 16 Mei 1966 – 6 October 1976. Dimaksudkan untuk menuntaskan sisa-sisa musuh revolusi yang termasuk kedalam Lima Katagoti Hitam (Five Black Categories) yaitu; tuan tanah, petani kaya, kontra-revolusioner, bad influencer, dan kelompok sayap kanan. Kalau PKI di Indonesia ini dikenal dengan istilah 7 setan desa yaitu istilah DN Aidit untuk tuan tanah jahat, lintah darat, pengijon, tengkulak jahat, bandit desa, pejabat korup, dan kapitalis birokrat.
Menurut catatan diperkirakan sampai 20 juta rakyat yang anti partai Komunis yang dihabisi selama Revolusi Kebudayaan. Bahkan ada yang dibunuh lalu dilakukan kanibalisme dimana daging manusia dibuat sate dan disantap bersama dalam acara pesta.
Setelah meninggalnya Mao Zedong pada 9 September 1976, maka China memasuki babak baru, dan kematian pendiri PKC itu merupakan titik balik bagi perkembangan menuju China yang baru. Sampai dengan Desember 1978, China dipimpin oleh Hua Guofeng. Dalam periode ini Kelompok Empat (Gang of Four) yang menentukan siapa yang akan dieksekusi pada masa Revolusi Kebudayaan, ditangkap dan diadili. Kelompok Empat itu terdiri dari Jiang Qing (istri dari Mao Zedong) dan 3 lainnya yaitu, Zhang Chunqiao, Yao Wenyuan, dan Wang Hongwen.
Dan Desember 1978 China kemudian dipimpin oleh tokoh reformis yang mungkin bisa kita samakan dengan presiden Soeharto di Indonesia yaitu Deng Xiaoping. Tokoh ini sebelumnya malah sempat dipecat dari petinggi partai ketika Revolusi Kebudayaan, dan dikirim ke pabrik traktor untuk menjadi buruh pabrik, selama lebih dari 4 tahun.
Pada masa Deng Xiaoping inilah, China berubah total, yaitu dengan menggerakkan investasi di dalam negeri serta mengundang investasi dari luar China. Puluhan Kawasan Ekonomi Khusus disiapkan di berbagai kota untuk perusahaan-perusahaan luar negeri yang berinvestasi. Pertanian komune sebagai ciri khas dari komunisme perlahan-lahan juga ditinggal dan akhirnya dihilangkan sama sekali.
Dalam hal keterbukaan ekonomi itu, kebijakan pemerintah China tidak berubah, setelah Deng Xiaoping sampai dengan Xi Jinping sekarang ini. Bahkan sekarang China sudah jadi investor utama melalui sekema Belt Road Initiative (BRI) ke seluruh belahan dunia. BRI adalah strategi pembangunan infrastruktur global yang diadopsi oleh pemerintah Cina sejak tahun 2013 untuk berinvestasi di lebih dari 70 negara.
Dengan demikian melihat perkembangan di China yang seperti itu, maka jelas komunisme dari segi ideologi sudah ditinggal, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan pemerintah China akan mendakwahkan ideologi komunis ke negara lain. Selain karena di China sendiri ideologi komunisme ditinggal, juga pemerintah China sekarang ini tidak pernah mau terlibat dengan masalah dalam negeri dari negara lain.
Dan satu lagi yang perlu dikemukakan disini yaitu permasalahan di China yang sering jadi bulan-bulanan makian dari masyarakat Indonesia terutama dari kaum muslim yaitu derita muslim Uighur di Xinjiang China.
Tentu saja sebagai saudara Muslim, dan terutama sekali dari sisi kemanusiaan, apa yang dilakukan pemerintah China kepada warganya di Xinjiang, kalau memang itu benar, wajar dan patut orang untuk memberikan emphati. Akan tetapi apa yang dilakukan dalam proses ‘penataran P4’ kepada rakyat China di Uyghur itu patut juga dipertanyakan kebenarannya dengan adanya fakta dimana ada 2 kubu negara yaitu kubu yang meyerang dan ada kubu yang membela.
Hal itu terjadi pada tanggal 8 Juli 2019, ketika ada 22 negara yang dimotori oleh Inggris dan kawan-kawan menyampaikan surat bersama ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC), yang mengecam kebijakan China di Xinjiang. Dan anehnya ternyata tidak ada satupun dari 22 negara itu, yang merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim. Lalu beberapa hari kemudian ada juga surat pembelaan kepada pemerintah China ke UNHCR dari 50 negara yang mengkonter surat itu. Dan ternyata dari 50 negara itu, ada 23 negara berpenduduk mayoritas muslim, termasuk Arab Saudi dan Palestina yang juga membela China. (Roie Yellinek and Elizabeth Chen; The “22 vs. 50” Diplomatic Split Between the West and China Over Xinjiang and Human Rights, China Brief • Volume 19 • Issue 22 • December 31, 2019)
Disini kita tidak bisa mengatakan bahwa 50 negara yang membela kebijakan China di Xinjiang itu dibayar oleh Pemerintah China, tetapi mereka melakukan pembelaan pastinya adalah atas dasar fakta dan realita yang disaksikan di Uyghur, Xinjiang. Sehingga sepertinya juga kita harus hati-hati dalam berkomentar ataupun berpendapat tentang Xinjiang.@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H