Mohon tunggu...
Agus Netral
Agus Netral Mohon Tunggu... Administrasi - Kemajuan berasal dari ide dan gagasan

Peneliti pada YP2SD - NTB. Menulis isu kependudukan, kemiskinan, pengangguran, pariwisata dan budaya. Menyelesaikan studi di Fak. Ekonomi, Study Pembangunan Uni. Mataram HP; 081 918 401 900 https://www.kompasiana.com/agusnetral6407

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami dan Belajar dari Kemajuan China

1 Juni 2021   21:25 Diperbarui: 1 Juni 2021   21:30 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baliho mantan pemimpin China (1978-1989), Deng Xiaoping yang terpasang di pusat kota Xenzhen (chinadaily)

Setelah meninggalnya Mao Zedong pada 9 September 1976, maka China memasuki babak baru, dan kematian pendiri PKC itu merupakan titik balik bagi perkembangan menuju China yang baru. Sampai dengan Desember 1978, China dipimpin oleh Hua Guofeng. Dalam periode ini Kelompok Empat (Gang of Four) yang menentukan siapa yang akan dieksekusi pada masa Revolusi Kebudayaan, ditangkap dan diadili. Kelompok Empat itu terdiri dari Jiang Qing (istri dari Mao Zedong) dan 3 lainnya yaitu, Zhang Chunqiao, Yao Wenyuan, dan Wang Hongwen.

Baliho mantan pemimpin China (1978-1989), Deng Xiaoping yang terpasang di pusat kota Xenzhen (chinadaily)
Baliho mantan pemimpin China (1978-1989), Deng Xiaoping yang terpasang di pusat kota Xenzhen (chinadaily)

Dan Desember 1978 China kemudian dipimpin oleh tokoh reformis yang mungkin bisa kita samakan dengan presiden Soeharto di Indonesia yaitu Deng Xiaoping. Tokoh ini sebelumnya malah sempat dipecat dari petinggi partai ketika Revolusi Kebudayaan, dan dikirim ke pabrik traktor untuk menjadi buruh pabrik, selama lebih dari 4 tahun.

Pada masa Deng Xiaoping inilah, China berubah total, yaitu dengan menggerakkan investasi di dalam negeri serta mengundang investasi dari luar China. Puluhan Kawasan Ekonomi Khusus disiapkan di berbagai kota untuk perusahaan-perusahaan luar negeri yang berinvestasi. Pertanian komune sebagai ciri khas dari komunisme perlahan-lahan juga ditinggal dan akhirnya dihilangkan sama sekali.

Dalam hal keterbukaan ekonomi itu, kebijakan pemerintah China tidak berubah, setelah Deng Xiaoping sampai dengan Xi Jinping sekarang ini. Bahkan sekarang China sudah jadi investor utama melalui sekema Belt Road Initiative (BRI) ke seluruh belahan dunia. BRI adalah strategi pembangunan infrastruktur global yang diadopsi oleh pemerintah Cina sejak tahun 2013 untuk berinvestasi di lebih dari 70 negara.

Dengan demikian melihat perkembangan di China yang seperti itu, maka jelas komunisme dari segi ideologi sudah ditinggal, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan pemerintah China akan mendakwahkan ideologi komunis ke negara lain. Selain karena di China sendiri ideologi komunisme ditinggal, juga pemerintah China sekarang ini tidak pernah mau terlibat dengan masalah dalam negeri dari negara lain.

Dan satu lagi yang perlu dikemukakan disini yaitu permasalahan di China yang sering jadi bulan-bulanan makian dari masyarakat Indonesia terutama dari kaum muslim yaitu derita muslim Uighur di Xinjiang China.

Tentu saja sebagai saudara Muslim, dan terutama sekali dari sisi kemanusiaan, apa yang dilakukan pemerintah China kepada warganya di Xinjiang, kalau memang itu benar, wajar dan patut orang untuk memberikan emphati. Akan tetapi apa yang dilakukan dalam proses ‘penataran P4’ kepada rakyat China di Uyghur itu patut juga dipertanyakan kebenarannya dengan adanya fakta dimana ada 2 kubu negara yaitu kubu yang meyerang dan ada kubu yang membela.

Hal itu terjadi pada tanggal 8 Juli 2019, ketika ada 22 negara yang dimotori oleh Inggris dan kawan-kawan menyampaikan surat bersama ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC), yang mengecam kebijakan China di Xinjiang. Dan anehnya ternyata tidak ada satupun dari 22 negara itu, yang merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim. Lalu beberapa hari kemudian ada juga surat pembelaan kepada pemerintah China ke UNHCR dari 50 negara yang mengkonter surat itu. Dan ternyata dari 50 negara itu, ada 23 negara berpenduduk mayoritas muslim, termasuk Arab Saudi dan Palestina yang juga membela China. (Roie Yellinek and Elizabeth Chen; The “22 vs. 50” Diplomatic Split Between the West and China Over Xinjiang and Human Rights, China Brief • Volume 19 • Issue 22 • December 31, 2019)

Disini kita tidak bisa mengatakan bahwa 50 negara yang membela kebijakan China di Xinjiang itu dibayar oleh Pemerintah China, tetapi mereka melakukan pembelaan pastinya adalah atas dasar fakta dan realita yang disaksikan di Uyghur, Xinjiang. Sehingga sepertinya juga kita harus hati-hati dalam berkomentar ataupun berpendapat tentang Xinjiang.@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun