Pemerintahan Baru hasil Pilpres 2014 dalam waktu kurang dari 100 hari telah banyak menimbulkan kegaduhan nasional.
Kegaduhan mana telah membuat rakyat yang telah menobatkannya sebagai presiden pilihan rakyat berbalik arah memprotes dan mengkritisinya serta tidak kurang yang menyatakan kecewa terhadap berbagai kebijakan Sang Presiden Pilihan rakyat tersebut.
Kekecewaan dari massa rakyat yang semula mendukung Jokowi tersebut terletak pada upaya di mana Jokowi yang mereka lihat sebelum menjadi presiden sangat berbeda ketika sekarang sudah benar-benar menjadi presiden.
Sang Presiden pilihan rakyat yang di bayangkan akan selalu mengambil kebijakan pro rakyat tersebut ternyata tidaklah mandiri dalam mengambil kebijakan, setidaknya publik menyebutnya Jokowi tidak independen dalam mengambil keputusan.
Ketidak mandirian Jokowi celakanya bukan lebih di pengaruhi oleh massa pendukungnya yg berasal dari kalangan non partisan dan pegiat HAM dan Pegiat anti korupsi. Ketidak mandirian Jokowi secara umum di nilai oleh publik lebih di pengaruhi oleh KMP ( Kalla Mega & Paloh)
Dominasi Aliansi partisan khususnya Mega dan Paloh setidaknya telah membuat masyarakat pendukungnya menjadi kecewa dan berbalik arah.
Kebijakan dalam bidang penegakan hukum dan masa depan pemberantasan korupsi adalah yang paling terancam.
Di tengah kekhawatiran khalayak publik di mana Mega pernah memiliki track record sebagai presiden penjual asset negara sebagai legacynya dan Surya Paloh sebagai seorang pengusaha yang terlihat sangat ambisius dalam bisnis dan politik, maka sebenarnya publik berharap KPK bisa menjadi lembaga pengontrol pemerintahan Jokowi tersebut.
Berbagai ambisi Kalla Mega Paloh tersebut di khawatirkan akan menjerumuskan pemerintahan  jokowi pada penyakit lama yakni Korupsi Kolusi dan Nepotisme ( KKN)
Gejala munculnya KKN sudah sangat kentara, nepotisme perkoncoan dan kekeluargaan sudah sangat nampak di mata publik, Keluarga Hendropriyono sebagai pendukung Jokowi dari Gerbong Mega sudah mendapatkan jabatan jabatan strategis, Komandan Paspampres, Komisaris Telkomsel dan Hendro Priyono sendiri dalam proyek Mobnas Proton.
Penunjukan Puan Maharani sebagai Menko juga cukup memberikan kesan nepotisme di banding profesional dan kompetensi.
Kolusi juga mulai terlihat pada import minyak Sonangol yang di arrange oleh Surya Paloh
Gejala Nepotisme dan kolusi sudah pasti akan melahirkan korupsi, sebuah penyakit kronis yang telah menjerumuskan bangsa indonesia pada kemiskinan dan kesenjangan yang belum teratasi hingga kini.
Di tengah kekhawatiran masyarakat terhadap merebaknya kembali KKN kita berharap lembaga hukum mampu mengontrolnya.
Namun harapan itu pupus ketika pemerintahan Jokowi justru mulai ingkar janji terhadap penempatan dan pemilihan Pimpinan kejaksaan yang adalah berasal dari Partai koalisi, realisasi yang mengingkari Janji untuk tidak mengintervensi dan menempatkan lembaga hukum dalam sub ordinat partai.
Jokowi juga menempatkan Gede Palgunadi yang pernah aktif di PDIP sebagai Hakim MK di mana di lembaga lain Kehakiman yakni MA juga sudah ada Gayus Lumbun yang publik juga sangat mengenalnya sebagai mantan Pimpinan Pusat PDIP
Penguasaan lembaga hukum yang telah membuat publik pendukungnya sendiri kecewa masih berlanjut dengan upaya PDIP menempatkan Budi Gunawan yang publik juga tahu bagaiamana kedekatannya dengan Mega dan PDIP.
Upaya menguasai lembaga hukum ini nampaknya mudah kita baca sebagai langkah pengamanan terhadap praktek KKN yang mulai merebak, dan ini bila tidak bisa di hentikan maka akan melahirkan pemerintahan yang otoriter tanpa adanya kontrol hukum. Pemerintah yang bisa kita bayangkan sebagai monster jahat yang mengancam masyarakat dan masa depan bangsa.
Agenda pemerintahan monster berikutnya yang kita khawatirkan adalah lembaga penegakan hukum yg di pandang paling membahayakan bagi para aktor politik penguasa dan pengusaha pemburu rente yg berkoalisi dan beraliansi pada kekuasaan yakni lembaga KPK.
Berbagai upaya penguasaan lembaga penegak hukum oleh pemerintah sudah cukup di tentang oleh publik pendukungnya sendiri yakni para pegiat HAM dan pegiat anti korupsi tapi nampaknya tidak cukup mendapat perhatian.
Benteng terakhir untuk menghentikan upaya pemerintah menguasai lembaga penegakan hukum adalah KPK.
Benar saja, publik benar-benar mendapatkan pintu masuk untuk mencegah penguasaan lembaga hukum oleh pemerintah ketika KPK menetapkan Calon Kapolri yang sudah lama terindikasi Korupsi dengan istilah populer rekening gendut sebagai tersangka.
KPK yang berani dan mau melawan untuk menghentikan upaya pemerintah yang mengarah pada otoritarian dan terbentuknya monster politik akhirnya juga mendapat serangan dan pukulan balik.
Berbagai kelemahan KPK pun di ungkap dan di jadikan amunisi serangan balik kubu pemerintah melalui Polri, jadi dalam hal ini publik melihat polri sebagai bidak catur politik dari Mega-Paloh dan mungkin juga Kalla.
Nah dalam konteks ini, kelihatannya publik harus memilih dan cermat dalam bersikap. Apakah ini moment yg tepat untuk menembak KPK utk memperbaiki berbagai kelemahannya yang sekarang untuk dijadikan amunisi serangan balik menghancurkan KPK
Sementara di sisi lain kita bisa kehilangan fokus pada pergerakan Monster yang luar biasa yang sedang merangkai kekuatan dan kekuasaan dalam satu kendali yang nantinya akan mengunci semua celah penegakan hukum untuk menindak pelanggaran hukum yang mungkin sekarang sedang di rencanakan oleh sang monster politik itu.
Kalau kekuasaan semua lembaga penegak hukum itu sdh berada dalam satu kendali yakni presiden dan partai-partai aliansi penguasa, maka siapakah yg akan membongkarnya nanti,
Ketika penguasa benar -benar melakukan tindakan besar dalam soal ekonomi nasional yg terindikasi korupsi.
Siapakah yang akan menindak kalau semua lembaga penegakan hukum berada di tangan presiden dan aliansi koalisi itu?
Juga pertanyaannya untuk apa mereka berupaya menguasai semua lembaga penegakan hukum itu, bukankah itu melanggar etika yang sering mereka gembar gemborkan waktu kampanye, kalau bukan mereka akan melempangkan jalan praktek KKN yang sudah mulai merebak itu.
Pertanyaan dari dalam hati yang paling dalam adalah, apakah kita percaya bahwa aliansi politik dan koalisi politik yang sekarang sedang berkuasa ini tidak akan melakukan Korupsi dan pelanggaran hukum, apakah mereka tidak akan mengumpulkan modal melalui berbagai kebijakan dan proyek yg ada pada kewenangannya?
Siapakah yang akan menindaknya nanti, siapakah yg akan mengontrolnya secara hukum nanti kekuasaan itu.
Tidak khawatirkah kita pada hal itu, pengalaman Orde baru tidakkah cukup memberikan gambaran atas penumpukan kekuasaan hukum pada penguasa, dan kita perlu 30 tahun lebih untuk menghentikannya.
Juga pertanyaan siapa yang bisa mengontrol penguasa yg sdh menguasai semua lembaga penegakan hukum itu, kalau penguasa itu akan menggunakannya untuk menghabisi lawan-lawan politiknya, semua orang yang kritis tiba-tiba di tangkap, media yang kritis juga di tersangkakan dengan dan entah apa saja bisa menjadi alasan untuk menghabisinya nanti.
Untuk menjinakkan media memang tidak bisa melalui UU pers tapi pemerintah bisa saja mengintervensi polisi untuk menjadikan tersangka pada wartawan atau crew media kasus-kasus yang sepele seperti terjadi pada Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto.
Siapa yang yakin bahwa ini tidak akan terjadi, mudahnya membuat pimpinan KPK sekarang jadi tersangka apakah tidak cukup untuk menjadi alasan kekhawatiran itu.
Kalau upaya sang monster sukses menguasai Polri dan sekaligus menghancurkan KPK maka selangkah lagi situasi mengkhawairkan itu akan berjalan, terjadi dan Terwujud.
Agus Maksum
Mantan Ketua Senat Mahasiswa ITS 94/95
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H