Itu tiga kata sakti dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan salah satu misi Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia. Dalam rangka menjalankan misi tersebut, pendidikan bagi anak bangsa adalah tugas utama negara. Kondisi sekarang digambarkan dengan jeli oleh -mohon ijin- Om Gids dalam kartun Drama Pak Nono di atas.
Dalam rangka menjalankan misi tersebut, pemerintah membuat program wajib belajar 9 tahun bagi setiap warga negara Indonesia yang berusia 6 sampai 15 tahun hingga setingkat jenjang SMP (Peraturan Pemerintah Nomor 47/2008). Langkah tersebut diperkuat lagi menjadi Program Wajib Belajar 12 Tahun - dikenal sebagai program Pendidikan Menengah Universal- pada tahun 2013.
Jauh sebelum program wajib belajar 9 tahun, pada masa Orde Baru ada program pembangunan bidang pendidikan yang sangat fenomenal: SD Inpres. Berdasarkan Intruksi Presiden/Inpres nomor 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar, dilaksanakan pembangunan besar-besaran sekolah dasar. Hingga tahun 1994 telah berhasil dibangun lebih dari 150 ribu SD Inpres.Â
Program ini sangat luar biasa. Tidak sekedar membangun gedung sekolah, penyediaan guru dan peralatan belajar mengajar membutuhkan perencanaan dan dana yang masif.Â
Program itu menjadi objek penelitian untuk meraih PhD MIT Ester Duflo dengan judul "Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment" pada akhir dasawarsa 1990. Ester Duflo bersama dua ekonom lainnya memperoleh hadiah Nobel bidang ekonomi pada tahun 2019 atas "their experimental approach to alleviating global poverty". SD Inpres telah menginspirasi cara mengurangi kemiskinan global.
Kewenangan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah diserahkan kepada daerah sebagai bagian dari otonomi daerah, buah reformasi tahun 1998. Penyerahan penyelenggaraan pemerintahan yang mencapai 16 urusan wajib--pendidikan salah satunya- secara rinci diatur dalam UU nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
 Penyerahan dimaksud disertai dengan penyerahan pendanaan. Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagian besar dari pemerintah pusat dalam bentuk transfer dari APBN ke APBD. Sebagian lagi didanai oleh daerah sendiri bagi daerah yang mempunyai pendapatan asli cukup besar.
Pendanaan dari APBN dimaksud terdiri dari dua kelompok, bersifat khusus dan umum. Disebut khusus karena alokasi dari APBN sudah ditentukan penggunaannya, misalnya bidang  urusan pendidikan, tidak boleh untuk yang lain.Â
Pendanaan dari APBN lainnya diokasikan bersifat umum tanpa dipilah-pilah untuk mendanai bidang urusan tertentu. Kewenangan penggunaan ada pada daerah sesuai prioritas bidang urusan masing-masing. Saat ini terdapat 31 bidang urusan yang dikerjakan daerah, diantara yang utama adalah pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan pemukiman.
Guru daerah
Seseorang akan menjadi kepala daerah paling lama 10 tahun, 2 periode masing-masing 5 tahun. Dengan periode yang relatif pendek tersebut, agar dinilai berhasil kepala daerah akan mengutamakan program-program yang langsung dilihat, dinikmati, dan dirasakan masyarakat.
 Program-program populer menjadi tumpuan. Pembangunan fisik seperti pembangunan infrastruktur, perbaikan prasarana umum dan layanan umum kesehatan dan pendidikan yang menjangkau seluruh masyarakat adalah program yang bisa langsung dirasakan dampaknya.
Di bidang pendidikan, program atau kegiatan yang berdampak langsung adalah memberi kesempatan anak-anak bersekolah. Berharap sekolah yang berkualitas, akan tetapi pada akhirnya tetap "menerima" walau diterima di bukan sekolah pilihan; yang penting sekolah negeri.Â
Diterima di sekolah itu merupakan hal yang langsung dirasakan. Jumlah anak dan lama bersekolah menjadi ukuran utama. Kualitas pendidikan pada anak didik baru bisa dievaluasi belasan tahun kemudian.
Keberhasilan pendidikan itu berpusat pada guru. Pada banyak cerita silat yang ditulis Kho Ping Hoo, para guru/suhu yang juga pendekar pada umumnya hanya mendidik seorang murid, dan kemudian berhasil menjadi pendekar sakti juga. Seorang suhu fokus pada keberhasilan murid; dari kecil hingga murid siap turun gunung ke kehidupan nyata. Dalam perpekstif yang sama, itu pula yang seharusnya terjadi pada para guru di negeri ini.Â
Guru fokus mengajar mengantarkan para murid menjadi pendekar yang siap turun gunung, tidak disibukkan dengan mencari sambilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Beda jaman, beda kisah.
Berdasar statistik Badan Kepegawaian Nasional/BKN, sepanjang tahun 2015 - 2023 jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah/PNSD turun lebih dari 0,5 juta orang, dari 3,36 juta orang menjadi 2,81 juta orang. Kemudian antara tahun 2021 dan 2023 terdapat kenaikan jumlah guru daerah PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dari 33 ribu orang menjadi 567 ribu orang.Â
Itu sebagai tindak lanjut kebijakan pengangangkatan tenaga honorer dengan prioritas guru dan tenaga kesehatan menjadi ASN dengan status PPPK. Dengan kata lain, penurunan jumlah PNSD kurun waktu 2015 hingga 2021 diisi dengan tenaga honorer.Â
Mengingat terjadi kenaikan besar-besaran jumlah guru PPPK antara tahun 2021 ke 2023, sebagian besar --bahkan mungkin seluruhnya- guru yang diangkat sebagai PPPK sudah bekerja sebagai guru honorer. Hal itu menggambarkan bahwa selama bertahun-tahun , bahkan mungkin belasan tahu, kekurangan guru diisi tenaga pengajar dengan status honorer.
Ibu guru Supriyani yang mengabdi selama 16 tahun digaji Rp300 ribu per bulan untuk mengajar di SD Negeri di Konawe Selatan. Dengan gaji sebesar itu, Supriyani dan ratusan ribu guru honorer lainnya mustahil bisa fokus mengajar. Demikian menyedihkan penghargaan kepada para guru yang menjadi "tukang" untuk meletakkan "pondasi kecerdasan" bagi generasi muda bangsa.Â
Profesi guru yang menyiapkan generasi penerus bangsa hanya dihargai dengan status honorer dan digaji ala kadarnya. Kualitas pengajaran di sekolah belum atau bahkan tidak menjadi prioritas daerah (baca: kepala daerah).
Hasil pendidikan era otonomi daerah
Pada bidang pendidikan, banyak daerah dalam menjalankan program pendidikan pada aspek yang langsung bisa dirasakan, dinikmati masyarakat: anak bisa sekolah, pendidikan gratis dan semacamnya. Kualitas hasil pelaksanaan program bukan hal utama atau terlewatkan.Â
Otonomi daerah yang memberikan kewenangan pendidikan dasar (terutama) dan menengah tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Salah satu tolok ukur yang mudah dipahami dan cukup objektif adalah skor PISA.
Program for International Student Assessment/PISA merupakan program OECD untuk menilai hasil pendidikan dengan mengukur kemampuan anak didik yang berusia 15 tahun dalam bidang matematika, literasi membaca, dan sains. Pada tahun 2006, skor PISA anak didik kita berada pada 391 untuk matematika, 393 membaca, dan 393 sains; total 1.177 poin.Â
Pernah mengalami kenaikan tahun 2015 dengan total 1.186 poin, tahun 2022 skor turun menjadi beturut-turut 366, 359 dan 383; total 1.108 poin.Â
Kemampuan membaca -paham makna yang dibaca- turun paling menyedihkan. Indonesia sedang dalam proses aksesi menjadi anggota OECD. Rata-rata skor PISA anggota OECD adalah 472 poin. Dua anggota ASEAN Singapura dan Vietnam berhasil mencapai rata-rata skor 575 dan 469 poin. Jalan masih panjang, bahkan untuk menembus batas 400 poin.
PISA diukur pada anak yang berusia 15 tahun. Pada usia itu anak telah mengikuti program wajib belajar 9 tahun. Hasil skor PISA mengisyaratkan betapa bangunan masa depan bangsa berdiri di atas pondasi yang rapuh. Pendidikan dasar yang terdiri dari SD & SMP dalam keadaan darurat. Pembentukan kementerian yang secara khusus menangani pendidikan dasar dan menengah yang dibentuk semoga memang dipersiapkan untuk mengatasinya.
Kembali pada tujuan bernegara, misi mencerdaskan kehidupan bangsa dimulai dari generasi muda dan diawali dengan pendidikan dasar. Misi itu sebaiknya diambil alih, dikerjakan dan dikendalikan terpusat. Sebagai misi utama Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia, terbukti sangat berisiko ketika ikut diotonomikan.Â
Beberapa daerah bosa berhasil karena kualitas pengajaran menjadi prioritas dan/atau dibantu swasta yang memfasilitasi keluarga-keluarga yang mampu dan mau berinvestasi besar untuk pendidikan anak.Â
Butuh suatu unusual policy bidang pendidikan dasar sekaliber program SD Inpres untuk menyelamatkannya. Jangan sampai kartun Harian Kompas di atas muncul lagi pada awal tahun 2044 dengan ganti kilah "Tahun 2045 masih 365 hari kok, Bu!" Seandainya masih hidup, penulis mungkin akan mati berdiri melihatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H