Hasil pendidikan era otonomi daerah
Pada bidang pendidikan, banyak daerah dalam menjalankan program pendidikan pada aspek yang langsung bisa dirasakan, dinikmati masyarakat: anak bisa sekolah, pendidikan gratis dan semacamnya. Kualitas hasil pelaksanaan program bukan hal utama atau terlewatkan.Â
Otonomi daerah yang memberikan kewenangan pendidikan dasar (terutama) dan menengah tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Salah satu tolok ukur yang mudah dipahami dan cukup objektif adalah skor PISA.
Program for International Student Assessment/PISA merupakan program OECD untuk menilai hasil pendidikan dengan mengukur kemampuan anak didik yang berusia 15 tahun dalam bidang matematika, literasi membaca, dan sains. Pada tahun 2006, skor PISA anak didik kita berada pada 391 untuk matematika, 393 membaca, dan 393 sains; total 1.177 poin.Â
Pernah mengalami kenaikan tahun 2015 dengan total 1.186 poin, tahun 2022 skor turun menjadi beturut-turut 366, 359 dan 383; total 1.108 poin.Â
Kemampuan membaca -paham makna yang dibaca- turun paling menyedihkan. Indonesia sedang dalam proses aksesi menjadi anggota OECD. Rata-rata skor PISA anggota OECD adalah 472 poin. Dua anggota ASEAN Singapura dan Vietnam berhasil mencapai rata-rata skor 575 dan 469 poin. Jalan masih panjang, bahkan untuk menembus batas 400 poin.
PISA diukur pada anak yang berusia 15 tahun. Pada usia itu anak telah mengikuti program wajib belajar 9 tahun. Hasil skor PISA mengisyaratkan betapa bangunan masa depan bangsa berdiri di atas pondasi yang rapuh. Pendidikan dasar yang terdiri dari SD & SMP dalam keadaan darurat. Pembentukan kementerian yang secara khusus menangani pendidikan dasar dan menengah yang dibentuk semoga memang dipersiapkan untuk mengatasinya.
Kembali pada tujuan bernegara, misi mencerdaskan kehidupan bangsa dimulai dari generasi muda dan diawali dengan pendidikan dasar. Misi itu sebaiknya diambil alih, dikerjakan dan dikendalikan terpusat. Sebagai misi utama Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia, terbukti sangat berisiko ketika ikut diotonomikan.Â
Beberapa daerah bosa berhasil karena kualitas pengajaran menjadi prioritas dan/atau dibantu swasta yang memfasilitasi keluarga-keluarga yang mampu dan mau berinvestasi besar untuk pendidikan anak.Â
Butuh suatu unusual policy bidang pendidikan dasar sekaliber program SD Inpres untuk menyelamatkannya. Jangan sampai kartun Harian Kompas di atas muncul lagi pada awal tahun 2044 dengan ganti kilah "Tahun 2045 masih 365 hari kok, Bu!" Seandainya masih hidup, penulis mungkin akan mati berdiri melihatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H