Seseorang akan menjadi kepala daerah paling lama 10 tahun, 2 periode masing-masing 5 tahun. Dengan periode yang relatif pendek tersebut, agar dinilai berhasil kepala daerah akan mengutamakan program-program yang langsung dilihat, dinikmati, dan dirasakan masyarakat.
 Program-program populer menjadi tumpuan. Pembangunan fisik seperti pembangunan infrastruktur, perbaikan prasarana umum dan layanan umum kesehatan dan pendidikan yang menjangkau seluruh masyarakat adalah program yang bisa langsung dirasakan dampaknya.
Di bidang pendidikan, program atau kegiatan yang berdampak langsung adalah memberi kesempatan anak-anak bersekolah. Berharap sekolah yang berkualitas, akan tetapi pada akhirnya tetap "menerima" walau diterima di bukan sekolah pilihan; yang penting sekolah negeri.Â
Diterima di sekolah itu merupakan hal yang langsung dirasakan. Jumlah anak dan lama bersekolah menjadi ukuran utama. Kualitas pendidikan pada anak didik baru bisa dievaluasi belasan tahun kemudian.
Keberhasilan pendidikan itu berpusat pada guru. Pada banyak cerita silat yang ditulis Kho Ping Hoo, para guru/suhu yang juga pendekar pada umumnya hanya mendidik seorang murid, dan kemudian berhasil menjadi pendekar sakti juga. Seorang suhu fokus pada keberhasilan murid; dari kecil hingga murid siap turun gunung ke kehidupan nyata. Dalam perpekstif yang sama, itu pula yang seharusnya terjadi pada para guru di negeri ini.Â
Guru fokus mengajar mengantarkan para murid menjadi pendekar yang siap turun gunung, tidak disibukkan dengan mencari sambilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Beda jaman, beda kisah.
Berdasar statistik Badan Kepegawaian Nasional/BKN, sepanjang tahun 2015 - 2023 jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah/PNSD turun lebih dari 0,5 juta orang, dari 3,36 juta orang menjadi 2,81 juta orang. Kemudian antara tahun 2021 dan 2023 terdapat kenaikan jumlah guru daerah PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dari 33 ribu orang menjadi 567 ribu orang.Â
Itu sebagai tindak lanjut kebijakan pengangangkatan tenaga honorer dengan prioritas guru dan tenaga kesehatan menjadi ASN dengan status PPPK. Dengan kata lain, penurunan jumlah PNSD kurun waktu 2015 hingga 2021 diisi dengan tenaga honorer.Â
Mengingat terjadi kenaikan besar-besaran jumlah guru PPPK antara tahun 2021 ke 2023, sebagian besar --bahkan mungkin seluruhnya- guru yang diangkat sebagai PPPK sudah bekerja sebagai guru honorer. Hal itu menggambarkan bahwa selama bertahun-tahun , bahkan mungkin belasan tahu, kekurangan guru diisi tenaga pengajar dengan status honorer.
Ibu guru Supriyani yang mengabdi selama 16 tahun digaji Rp300 ribu per bulan untuk mengajar di SD Negeri di Konawe Selatan. Dengan gaji sebesar itu, Supriyani dan ratusan ribu guru honorer lainnya mustahil bisa fokus mengajar. Demikian menyedihkan penghargaan kepada para guru yang menjadi "tukang" untuk meletakkan "pondasi kecerdasan" bagi generasi muda bangsa.Â
Profesi guru yang menyiapkan generasi penerus bangsa hanya dihargai dengan status honorer dan digaji ala kadarnya. Kualitas pengajaran di sekolah belum atau bahkan tidak menjadi prioritas daerah (baca: kepala daerah).