Mohon tunggu...
Agus Kristianto
Agus Kristianto Mohon Tunggu... Freelancer - peminat ekonomi

pemotong pajak

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Menahan Laju Biaya Utang Negara

23 Juni 2024   23:45 Diperbarui: 25 Juni 2024   04:13 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: LKPP & APBN 2024

Pendapatan perpajakan harus jadi andalan dalam membiayai roda pemerintahan negara. Pendapatan perpajakan mencerminkan nilai tambah perekonomian dan juga kemakmuran negara. Makin besar nilai tambah, makin besar pula pajak yang bisa dipungut.

Penjualan barang dengan harga yang sama dengan pembelian, tidak ada setoran PPN; orang kerja yang tidak diupah -atau upahnya hanya cukup untuk makan keluarga- tidak setor PPh Pasal 21; perusahaan yang tidak untung, tidak ada nilai tambah ekonomi, tidak setor PPH Badan.

Pada masa kampanye, calon presiden yang pada akhirnya terpilih menyatakan target penerimaan (baca: pendapatan) negara 23% PDB. Penerimaan dimaksud meliputi pajak dan bukan pajak. Penerimaan bukan pajak terutama dari  sumber daya alam yang suatu saat akan habis. Pajak akan berkelanjutan selama -harus- ada nilai tambah ekonomi.

Pada saat target disampaikan, tidak ada reaksi sama sekali karena masih masa kampanye, pun saat sudah terpilih. Hingga saat ini belum dijabarkan skema untuk mencapai target. Akan tetapi begitu capres terpilih melontarkan gagasan untuk mengerek rasio utang menjadi 50% PDB pada lima tahun ke depan, pasar langsung bereaksi negatif. Penambahan (rasio) utang berdampak seketika.

Biaya berhutang

Utang publik suatu negara (baca pemerintah) cenderung tidak ada yang turun dari waktu ke waktu sejak puluhan tahun, bahkan ratusan tahun yang lalu saat negara-negara Eropa mulai berhutang untuk menemukan "dunia baru". Bukan hanya jumlah nominal, tapi juga persentase terhadap PDB. 

Selain untuk tujuan ekspansi ekonomi, setiap rejim pemerintahan punya kebijakan yang inginnya lebih baik dari rejim sebelumnya. Itu artinya butuh biaya yang lebih besar. Mengurangi belanja publik bukan hal mudah, bahkan bisa dikatakan mustahil. Meningkatkan pendapatan negara tidak bisa seketika, butuh waktu. Satu-satunya sumber yang bisa seketika untuk mendanai kebijakan baru adalah utang . Itu berarti butuh tambahan biaya utang.

Dalam sepuluh tahun terakhir, utang pemerintah meningkat dari sekitar 30% menjadi 40% PDB. Peningkatan utang disertai lompatan biaya utang menjadi tiga kali lipat lebih. Tahun 2014, negara membelanjakan Pembayaran Kewajiban Utang/PKU sebagai biaya utang sebesar Rp133 trilyun. 

Pembayaran ini tidak mengurangi pokok utang, tetapi untuk membayar bunga dan imbal hasil kepada pemegang surat berharga negara dan kreditor lainnya. Tahun 2014, jumlahnya setara dengan 12% pendapatan pajak.

Dengan makin membesarnya utang, biaya utang juga juga membengkak. Tahun 2022 biaya utang telah mencapai Rp386 trilyun, setara dengan 19% pendapatan pajak. 

Dari tahun ke tahun makin besar porsi pajak yang dipungut negara untuk membayar biaya utang. Kecepatan peningkatan biaya utang layaknya mobil baru yang melaju di jalan yang mulus, kecepatan meningkatkan pajak layaknya oplet tua yang harus melewati jalan terjal nan berliku. Malapetaka terjadi jika biaya utang melampaui pendapatan pajak.

Pada tahun 2024 ini, biaya utang dianggarkan Rp497 trilyun, setara 21% pendapatan pajak.

Realisasi APBN 2014 - 2022 & APBN 2024

Sumber: LKPP & APBN 2024
Sumber: LKPP & APBN 2024

Melalui Fiscal Monitor edisi April 2024, IMF mengingatkan bahwa sekarang waktu yang tepat untuk mengembalikan keuangan publik yang berkelanjutan ditengah tingginya utang pubik. Pada tahun 2023, utang pemerintahan umum/sektor publik seluruh dunia mencapai 93% GDP. Mengacu pada angka tersebut, posisi Indonesia masih jauh dibawahnya, sekitar 39 persen.

Melihat porsi utang terhadap PDB saja bisa tersesat. Pada utang melekat biaya yang harus dibayar -ditambah pokok utang tentunya. Biaya utang bervariasi antar negara. Mengacu pada data IMF, per 2022 dua negara dengan porsi utang terbesar, yaitu Jepang 214% dan Yunani 192% membayar biaya utang sebesar 1,5% dan 6,3% PDB. 

Pada tahun 2021 (data 2022 belum tersedia), pendapatan perpajakan dua negara berurutan sebesar 34% dan 25% PDB. Biaya utang Jepang (relatif) sangat murah, bahkan sudah murah didukung dengan pendapatan (pajak) yang besar pula. Jepang hanya membelanjakan 4,4% pendapatan pajak untuk biaya bunga, sedangkan Yunani 25 persen. Seandainya pimpinan negara Yunani ingin menyatakan bahwa utang Yunani masih lebih kecil dibanding negara lain, dipendam saja keinginan itu.

Pembatasan (biaya) utang

Tidak ada acuan baku mengenai porsi biaya utang terhadap -misalnya-pendapatan suatu negara. Makin besar porsi biaya utang akan makin berisiko; makin besar pendapatan yang dibayarkan untuk biaya utang, makin kecil porsi yang tersisa untuk belanja layanan masyarakat, termasuk subsidi yang selama ini diberikan. Suatu hal yang selalu dihindari oleh pemerintah. Untuk meningkatkan, bahkan sekedar mempertahankan pun harus menambah utang, sehingga menambah biaya utang.

Selama ini pembatasan jumlah utang mengacu pada UU 17/2003 tentang KN, yang mengatur bahwa akumulasi utang negara tidak boleh lebih besar dari 60% PDB dan defisit anggaran yang akan menambah utang tahun berkenaan maksimum 3% PDB. Ketentuan tersebut selalu dipatuhi dari tahun ke tahun. Jumlah utang saat ini pada kisaran 40% PDB.

Dengan melihat perkembangan beberapa tahun terakhir,  patokan biaya utang maksimum 20% atau satu per lima pendapatan negara masih dalam batas aman. Agar prinsip keadilan atas pendapatan negara tetap bisa dijaga, cukup satu per lima pendapatan negara dari perpajakan diberikan kepada para kreditor. Ini sekaligus menjaga selalu tersedianya ruang fiskal antar pemerintahan, antar generasi.

Kembali ke awal tulisan, pada masa kampanye, calon presiden terpilih mentargetkan penerimaan negara 23% PDB dan setelah terpilih ingin meningkatkan utang menjadi 50% PDB dalam lima tahun pemerintahan nantinya. Pernyataan yang terakhir disambut pasar dengan reaksi negatif yang cukup berlebihan. Seandainya saja dua hal tadi -target pajak dan rasio utang- dijabarkan dengan baik dan terukur, reaksi negatif pasar mungkin berbeda.

Estimasi sederhana, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir rata-rata pertumbuhan PDB nominal sebesar 8 persen lebih; walau sempat turun karena wabah Covid-19 tahun 2020, namun bisa segera recover pada tahun-tahun berikutnya. 

Dengan asumsi PDB 2024 Rp22.830 trilyun, pada tahun 2029 PDB diperkirakan Rp33.000 trilyun. Utang (50% PDB) menjadi Rp16.500T, pencapaian sesuai target pendapatan negara 23% PDB sebesar Rp7.590T. 

Dengan asumsi seperti selama ini biaya utang 6% didapat (Rp16.500 X 6%) Rp990T, setara 13% pendapatan perpajakan, jauh dari satu per lima. Pun seandainya utang seluruhnya dari obligasi dengan imbal hasil 7%, biaya utang "hanya" sebesar Rp1.155 trilyun, 15% dari pendapatan. Porsi yang masih jauh dari 20%, satu per lima pendapatan negara.

Untuk menjaga batas tidak dilampau, bisa mengadopsi skema automatic adjustment pada APBN. Skema ”automatic adjustment tersebut adalah langkah untuk mengantisipasi kondisi perekonomian yang tidak menentu” yang mulai diterapkan pada tahun 2023 oleh Kemenkeu (Kontan.co.id, 15 Februari 2023). Automatic adjustment ini bisa sebagai rem belanja agar tidak kebablasan ketika pendapatan diperkirakan tidak cukup, jika tetap dipaksakan -tidak direm- biaya utang akan melampaui 20% pendapatan.

Ada langkah yang harus dilakukan, antara lain menyusun disain dan tahapan merealisasikan target pendapatan negara yang terukur dan jelas, terutama pendapatan perpajakan. 

Ada satu peluang untuk mengawalinya, yaitu mengkaji ulang kebijakan insentif perpajakan yang pada tahun 2022 bernilai Rp325 trilyun (BKF, Kemenkeu: Laporan Belanja Perpajakan 2022). Seandainya tidak ada insentif dan ekonomi berjalan normal, nilai tadi akan menambah pundi-pundi pendapatan negara -walau tidak seluruhnya. Dengan integritas moral yang tinggi agar kemudian tidak dikorupsi, target pendapatan untuk kemakmuran rakyat bisa diraih. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun