Kinerja lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah; walau mungkin juga ditopang suku bunga tinggi. Fluktuasi nilai tukar rupiah memang terjadi, tetapi tidak sampai mengalami kenaikan yang berarti. Pada pertengah tahun 2015 pada Rp13.300/dolar AS. Dengan sedikit fluktuasi, nilai tersebut beberapa waktu lalu Rp14.200 dan kembali menguat di bawah Rp14K.
Melengkapi kinerja ekonomi, integritas pemerintah sebagai debitor yang taat atas kewajibannya membayar pokok dan bunga sudah teruji. Kepatuhan untuk tidak pernah mengemplang utang luar negeri pun telah dibuktikan pada masa dua masa krisis.
Tidak kalah penting adalah pengakuan dunia atas keampuhan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan terbaik tiga kali berturut-turut. Dan yang paling ampuh adalah kepercayaan rakyat Indonesia, bahkan juga masyarakat dunia akan kemampuan Presiden Jokow. Didera berbagai isu, dari yang kasar hingga tersamar dalam isu identitas, rakyat masih percaya pada Jokowi untuk memimpin lima tahun ke depan, bahkan dengan prosentase yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Isyarat Presiden Terpilih
Melengkapi isyarat-isyarat senada sebelumnya, di sela-sela pertemuan G20 di Osaka yang lalu, Presiden Jokowi bertemu Presiden Cina Xi Jinping.
"Presiden minta special fund dengan interest murah," ujar Luhut di kantornya, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa, 2 Juli 2019 (tempo.co, 2 Juli 2019). Sebagai mantan pengusaha mebel yang tidak sekedar berdagang tetapi juga memproduksi, Presiden Jokowi sangat paham pentingnya berinvestasi dalam jangka panjang, tidak sekedar investasi untuk modal kerja.
Pada pidato Visi Indonesia, Presiden Jokowi menjadikan investasi sebagai kata kunci. Segala upaya akan akan dilakukan dan dikawal untuk mendorong investasi. Disadari bahwa andalan pertumbuhan pada konsumsi membuat obesitas ekonomi dan itu tidak sehat. Menggenjot investasi pemerintah di bidang infrastruktur dan swasta di sektor produksi merupakan pilihan tanpa alternatif.
Ekonomi harus bekerja, menghasilkan produk yang tidak sekedar dimakan sendiri atau sekedar dijual untuk membeli/impor produk orang lain untuk dimakan, tetapi harus ada hasil lebih yang diinvestasikan. Investasi harga mati untuk pertumbuhan. Investasi asing yang membawa modal sendiri kita sambut dengan baik, tetapi apakah tidak menyakitkan jika bangsa ini pada akhirnya hanya akan jadi pekerja dan konsumen?
Dengan tingkat bunga saat ini, usaha yang relatif rendah resikonya adalah usaha yang sekedar butuh modal dalam jangka pendek: berdagang. Tidak perlu berkerut dahi mikir berapa lama balik modal jika harus bikin industri; itu pun kalau berhasil. Tingkat bunga saat ini sangat mahal untuk membangun pabrik, beli mesin, membangun infrastruktur, apalagi untuk penelitian dan pengembangan.
Melihat perkembangan yang terjadi seharusnya bunga bank sentral bisa lebih rendah dari awal tahun lalu. Diakui bahwa koordinasi di Republik ini sangat sulit bahkan lebih sering tidak terjadi. Inggih-inggih ora kepanggih. Ego sektoral demi keselamatan (dan kenyamanan) diri sendiri sangat kuat. Isyarat telah berkali-kali disampaikan. Perlukah independensi itu dipertahankan? Apakah Presiden Jokowi akan --terpaksa- sekeras Presiden Erdogan? Kita tunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H