Mohon tunggu...
Agus Kristianto
Agus Kristianto Mohon Tunggu... Freelancer - peminat ekonomi

lahir dari dan dibesarkan oleh sepasang guru

Selanjutnya

Tutup

Money

Bunga Bank yang Mencekik

16 Juli 2019   14:55 Diperbarui: 16 Juli 2019   15:12 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Erdogan memecat gubernur bank sentral

Beberapa hari menjelang pengumuman Bank Indonesia atas suku bunga acuan bulan Juni yang lalu, media santer memberitakan harapan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang yakin bunga akan diturunkan. Akan tetapi yang terjadi BI tetap memutuskan bunga tetap bertengger di posisi 6 persen.

Dari yang tertulis, Menkeu tidak secara langsung mengatakan kepada awak media. Hal itu terbaca dari kutipan-kutipan yang ditulis oleh para pewarta. Pewarta mengintepretasikan, selain dari pilihan kata yang digunakan, kemungkinan besar dari mimik saat wawancara.

Dengan tidak adanya penjelasan lanjutan dari Menkeu atau jajarannya, berita yang beredar dapat disimpulkan bahwa keinginan sang Menteri memang demikian. Hasil reformasi tahun 1999 menempatkan BI independen,  pemerintah tidak mungkin melakukan campur tangan. Dan sangat tidak mungkin isyarat itu tidak ditangkap oleh para petinggi BI. Tetapi sang bidadari belum mau turun ke bumi, baru melirik sambil membayangkan panasnya kawah Candradimuka sektor riil. Kenyamanan surga sektor moneter difasilitasi angin pantai sepoi-sepoi di siang hari, angin sepoi hasil kipasan Rp258 trilyun setoran pajak.

Kenyamanan itu dimulai triwulan ke dua 2018 ketika suku bunga mulai merambat naik dari posisi 4,25% hingga bertengger tak tergoyahkan di posisi sekarang ini. Tingkat bunga atau repo  bank sentral kita 6% termasuk tertinggi di kawasan. India yang sebelumnya 6,50%, tahun ini saja sudah diturunkan tiga kali menjadi 5,75%. Malaysia dan Filipina pada posisi 3%, Muangthai berani menyamai Australia pada 1,5%; Cina 1,75%. Jepang malah menerapkan bunga negatif.

Masih di Asia, tetapi jauh di barat, bank sentral Turki merupakan pemegang rekor pada 24%, naik dari 17% September 2018. Bunga tinggi dengan alasan mengendalikan inflasi yang mencapai 20% pada 2018. Dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah karena menghambat roda perekonomian, akhirnya Presiden Erdogan mengeluarkan dekrit --mengingat kedudukan yang independen dari pemerintah- memecat gubernur bank sentral (bbc.com, 6 Juli 2019).

Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan dikritik habis-habisan karena penambahan utang untuk membiayai insfrastruktur. Dari segi jumlah utang sesungguhnya masih aman, tetapi biayanya tinggi.

Ongkos utang yang tinggi tidak terlepas dari tingkat bunga yang tinggi setiap kali pemerintah menerbitkan obligasi. Entah kenapa, obligasi baru disambut pasar jika pemerintah memberi kupon paling tidak 2% di atas bunga bank sentral, alias di kisaran 8 persen. Dampaknya, biaya utang menggerus lebih dari 17% pendapatan perpajakan. Tahun 2018, Rp258 trilyun lebih harus direlakan untuk membayar biaya utang.

Pemerintah yang sedang gencar-gencarnya menggenjot pembangunan infrastruktur sangat terbatas pilihannya. Penerbitan Surat Utang Negara adalah pilihan utama, kalau tidak bisa dikatakan satu-satunya, dengan biaya yang mencekik.

Kinerja Ekonomi

Sejak pindah kantor ke Istana Merdeka akhir Oktober 2014, paling tidak ada tiga prestasi Presiden Jokowi di bidang makro yang patut diacungi jempol. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ditengah kondisi ekonomi dunia yang stagnan. Selama empat tahun terakhir perumbuhan ekonomi mampu dipertahankan pada kisaran lebih dari 5 persen. Berikutnya berupa kemampuan menahan laju inflasi pada kisaran 3% selama empat tahun berturut-turut.

Kinerja lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah; walau mungkin juga ditopang suku bunga tinggi. Fluktuasi nilai tukar rupiah memang terjadi, tetapi tidak sampai mengalami kenaikan yang berarti. Pada pertengah tahun 2015 pada Rp13.300/dolar AS. Dengan sedikit fluktuasi, nilai tersebut beberapa waktu lalu Rp14.200 dan kembali menguat di bawah Rp14K.

Melengkapi kinerja ekonomi, integritas pemerintah sebagai debitor yang taat atas kewajibannya membayar pokok dan bunga sudah teruji. Kepatuhan untuk tidak pernah mengemplang utang luar negeri pun telah dibuktikan pada masa dua masa krisis.

Tidak kalah penting adalah pengakuan dunia atas keampuhan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan terbaik tiga kali berturut-turut. Dan yang paling ampuh adalah kepercayaan rakyat Indonesia, bahkan juga masyarakat dunia akan kemampuan Presiden Jokow. Didera berbagai isu, dari yang kasar hingga tersamar dalam isu identitas, rakyat masih percaya pada Jokowi untuk memimpin lima tahun ke depan, bahkan dengan prosentase yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Isyarat Presiden Terpilih

Melengkapi isyarat-isyarat senada sebelumnya, di sela-sela pertemuan G20 di Osaka yang lalu, Presiden Jokowi bertemu Presiden Cina Xi Jinping.

"Presiden minta special fund dengan interest murah," ujar Luhut di kantornya, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa, 2 Juli 2019 (tempo.co, 2 Juli 2019). Sebagai mantan pengusaha mebel yang tidak sekedar berdagang tetapi juga memproduksi, Presiden Jokowi sangat paham pentingnya berinvestasi dalam jangka panjang, tidak sekedar investasi untuk modal kerja.

Pada pidato Visi Indonesia, Presiden Jokowi menjadikan investasi sebagai kata kunci. Segala upaya akan akan dilakukan dan dikawal untuk mendorong investasi. Disadari bahwa andalan pertumbuhan pada konsumsi membuat obesitas ekonomi dan itu tidak sehat. Menggenjot investasi pemerintah di bidang infrastruktur dan swasta di sektor produksi merupakan pilihan tanpa alternatif.

Ekonomi harus bekerja, menghasilkan produk yang tidak sekedar dimakan sendiri atau sekedar dijual untuk membeli/impor produk orang lain untuk dimakan, tetapi harus ada hasil lebih yang diinvestasikan. Investasi harga mati untuk pertumbuhan. Investasi asing yang membawa modal sendiri kita sambut dengan baik, tetapi apakah tidak menyakitkan jika bangsa ini pada akhirnya hanya akan jadi pekerja dan konsumen?

Dengan tingkat bunga saat ini, usaha yang relatif rendah resikonya adalah usaha yang sekedar butuh modal dalam jangka pendek: berdagang. Tidak perlu berkerut dahi mikir berapa lama balik modal jika harus bikin industri; itu pun kalau berhasil. Tingkat bunga saat ini sangat mahal untuk membangun pabrik, beli mesin, membangun infrastruktur, apalagi untuk penelitian dan pengembangan.

Melihat perkembangan yang terjadi seharusnya bunga bank sentral bisa lebih rendah dari awal tahun lalu. Diakui bahwa koordinasi di Republik ini sangat sulit bahkan lebih sering tidak terjadi. Inggih-inggih ora kepanggih. Ego sektoral demi keselamatan (dan kenyamanan) diri sendiri sangat kuat. Isyarat telah berkali-kali disampaikan. Perlukah independensi itu dipertahankan? Apakah Presiden Jokowi akan --terpaksa- sekeras Presiden Erdogan? Kita tunggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun