Mohon tunggu...
Agus Indy.
Agus Indy. Mohon Tunggu... Dosen - Antropolog Blajaran

Saya seorang pendongeng yang suka menulis cerita-cerita etnografi yang ringan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ngaji dan Selera

30 Mei 2017   12:54 Diperbarui: 30 Mei 2017   12:59 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

‘suporter… kayak bal-balan saja,’sahutku geli. Semua tertawa pelan.

‘Ha iya to… orang ngaji itu kan bolo-bolonan, grup-grup an…. Ngaji itu kan cocok-cocokan dengan selera… Coba to dititeni saja, jarang banget lho yang mau ikut pengajian umum gitu,’ lanjut mbah Rebo

‘ngaji yang umum itu yang gimana to mbah?’ tanya saya geli.

‘contohnya ya njenengan itu… kalo diundang pengajian ke masjid ikut terus… datang dan duduk terus sambil makan jajan pelan-pelan... itu beda, kalo orang sini kan biasanya makan jajannya cepat, habis lalu duduk menikmati ceramah... bagusnya, meski seringkali itu tidak sesuai dengan selera, njenengan duduk sampai selesai....‘ lanjut beliau terkekeh.  Aku kena sodok telak nih! Meski begitu aku tetap tertawa, ikut yang lain.

‘Mosok kayak gitu?’ tanya saya sambil ketawa.

‘ha buktinya ketika yang lain tertawa terbahak, njenengan malah klakepan, menguap, gitu…’ lanjutnya sambil terkekeh. Bagaimanapun saya harus mengakui kejelian beliau melakukan observasi. Saya terbahak keras. Semua tertawa, mbah Ngalim saja yang senyum-senyum

Setelah ketawa reda,

‘lha tapi kalo ceramahnya itu isinya ngomongin bidengah, kapir, dan sebagainya itu… itu kan nyindir-nyindir kelompok lain?’ Tanya saya

‘…lha mbok biarin, orang ngomong saja lho… tidak menggigit saja kok… apakah kalo dikapirkan lantas kita jadi kapir? Kan mboten?! Lha mbok dijarke saja, biarin… lambe ya lembenya mereka… kalo capek kan berhenti sendiri. Urusan masuk surga atau neraka biar itu urusannya Alloh saja, gak usah ikut-ikut… emang mereka calo surga po?  Kok le kuwanen… Nyathut kok haknya Gusti Alloh…’ Sergah beliau panjang lebar. Kami semua diam ngelangut.

‘Orang hidup itu sing penting guyub. Ini kan masalah selera saja … dakwah nggih dakwah ning kan ibarat sama-sama penyuka daging kambing, ada yang suka sate ya sana... suka tongseng ya sana... gak usah lah saling ngomentari, saling ngece.... ha nek dakwahnya ustadz ini dikomentari orang grup lain ya jelas ora gathuk lah.. penyuka ayam goreng kok komentar tentang tongsengnya pak Min mbesi ... ’ pungkasnya lugas.

Kami semua lantas terdiam. Baru paham saya, kenapa di masjid kami itu selalu terbuka dan sangat beragam isinya. Kadang pakai qunut, tidak pun gak masalah ketika saya lupa tidak baca (karena saking ndhredhegnya di suruh ngimami sholat subuh). Jamaahnya beragam, ada yang pakai sarung, banyak pula yang pakai seragam gamis. Baunya pun begitu ada yang seharum parfum misik orang beriman hingga ting klenyit-nya kringet dan bau lumpur. Siapa yang mau jadi imam tidak masalah, sing penting pada sholat jamaah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun