Sebelum kita membahas lebih jauh tentang film ini, saya ingin mengingatkan bahwa ulasan ini akan mengungkap beberapa detail penting dari alur cerita. Jika Anda belum menonton film ini dan ingin menikmatinya tanpa bocoran, saya sarankan untuk menonton terlebih dahulu sebelum melanjutkan ulasan ini.
Bicara masalah psikis, sekarang banyak sorotan yang bersangkutan dengan hal ini. Dari mulai fenomena perilaku doom spending, hingga masalah perundungan yang terjadi dimana-mana yang bahkan terjadi di dunia pendidikan kedokteran itu sendiri.
Masalah ini sangat menarik, terutama setelah saya menonton film Smile. Film Amerika bergenre horor tahun 2022, film ini menceritakan sorang terapis yang malah terpapar oleh penyakit pasiennya sendiri.
Film ini awalnya berjalan realistis. Tapi setelah Si Psikiater terpapar trauma pasiennya, alur film ini dibuat jadi bahan pemacu adrenalin karena penonton tidak diberi petunjuk mana yang realita dan mana yang halusinasi.
Penonton hanya diberikan fakta-fakta bahwa kasus bunuh diri serupa belasan kali terjadi dengan pola yang sama, tapi sekali lagi saya masih dibuat bingung mana adegan yang dianggap realita atau sekedar halusinasi. Dr. Rose dalam adegan terakhir diperlihatkan melakukan bunuh diri dengan cara serupa, untuk menyimpulkan bahwa itu adegan realita atau halunisasi silahkan tonton filmnya.
Film Smile menyoroti permasalahan psikologis melalui kacamata horor yang memanipulasi perasaan takut, keraguan, dan isolasi yang dialami karakter utamanya. Sebagai terapis, tokoh utama Dr. Rose Cotter (diperankan oleh Sosie Bacon), menghadapi beban mental yang berat ketika ia mulai mengalami fenomena aneh yang sebelumnya dialami oleh pasien-pasiennya.
Dalam kehidupan nyata, isu psikis yang digambarkan dalam Smile dapat dihubungkan dengan fenomena trauma dan stres yang sering dialami oleh banyak orang. Trauma sekunder, atau yang disebut sebagai vicarious trauma, adalah salah satu contoh di mana seseorang terpapar trauma orang lain sehingga mengakibatkan efek psikologis yang serius.Â
Profesi terapis, psikiater, dan pekerja sosial adalah posisi garis depan dalam menangani kondisi seperti ini, yang menempatkan mereka pada risiko lebih besar untuk mengalami dampak negatif secara emosional.
Yang membuat Smile menarik adalah perpaduan antara realita dan ilusi yang sengaja dibuat samar oleh sutradara. Penonton dipaksa untuk merasakan ketidakpastian yang sama seperti yang dialami Rose.Â
Di satu sisi, penonton menyaksikan perjalanan logis dari seorang psikiater yang menghadapi masalah, namun di sisi lain, mereka dibawa masuk ke dalam dunia psikologis yang tidak dapat dipercaya sepenuhnya.Â