Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Smile Mengangkat Fenomena Psikis dalam Film Horor

1 Oktober 2024   23:44 Diperbarui: 12 Oktober 2024   01:20 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang film ini, saya ingin mengingatkan bahwa ulasan ini akan mengungkap beberapa detail penting dari alur cerita. Jika Anda belum menonton film ini dan ingin menikmatinya tanpa bocoran, saya sarankan untuk menonton terlebih dahulu sebelum melanjutkan ulasan ini.

Bicara masalah psikis, sekarang banyak sorotan yang bersangkutan dengan hal ini. Dari mulai fenomena perilaku doom spending, hingga masalah perundungan yang terjadi dimana-mana yang bahkan terjadi di dunia pendidikan kedokteran itu sendiri.

Masalah ini sangat menarik, terutama setelah saya menonton film Smile. Film Amerika bergenre horor tahun 2022, film ini menceritakan sorang terapis yang malah terpapar oleh penyakit pasiennya sendiri.

Film ini awalnya berjalan realistis. Tapi setelah Si Psikiater terpapar trauma pasiennya, alur film ini dibuat jadi bahan pemacu adrenalin karena penonton tidak diberi petunjuk mana yang realita dan mana yang halusinasi.

Penonton hanya diberikan fakta-fakta bahwa kasus bunuh diri serupa belasan kali terjadi dengan pola yang sama, tapi sekali lagi saya masih dibuat bingung mana adegan yang dianggap realita atau sekedar halusinasi. Dr. Rose dalam adegan terakhir diperlihatkan melakukan bunuh diri dengan cara serupa, untuk menyimpulkan bahwa itu adegan realita atau halunisasi silahkan tonton filmnya.

Film Smile menyoroti permasalahan psikologis melalui kacamata horor yang memanipulasi perasaan takut, keraguan, dan isolasi yang dialami karakter utamanya. Sebagai terapis, tokoh utama Dr. Rose Cotter (diperankan oleh Sosie Bacon), menghadapi beban mental yang berat ketika ia mulai mengalami fenomena aneh yang sebelumnya dialami oleh pasien-pasiennya.

Dalam kehidupan nyata, isu psikis yang digambarkan dalam Smile dapat dihubungkan dengan fenomena trauma dan stres yang sering dialami oleh banyak orang. Trauma sekunder, atau yang disebut sebagai vicarious trauma, adalah salah satu contoh di mana seseorang terpapar trauma orang lain sehingga mengakibatkan efek psikologis yang serius. 

Profesi terapis, psikiater, dan pekerja sosial adalah posisi garis depan dalam menangani kondisi seperti ini, yang menempatkan mereka pada risiko lebih besar untuk mengalami dampak negatif secara emosional.

Yang membuat Smile menarik adalah perpaduan antara realita dan ilusi yang sengaja dibuat samar oleh sutradara. Penonton dipaksa untuk merasakan ketidakpastian yang sama seperti yang dialami Rose. 

Di satu sisi, penonton menyaksikan perjalanan logis dari seorang psikiater yang menghadapi masalah, namun di sisi lain, mereka dibawa masuk ke dalam dunia psikologis yang tidak dapat dipercaya sepenuhnya. 

Pada film Smile, perbatasan antara kenyataan dan delusi kabur. Adegan-adegan yang tampaknya nyata bisa saja menjadi halusinasi, dan ini menambah kesan horor psikologis yang mendalam dalam cerita.

Menilai lebih lanjut film ini juga memancing pertanyaan yang semakin besar tentang kondisi mental di dunia nyata, terutama dalam konteks seperti perundungan atau fenomena doom spending yang semakin umum di masyarakat modern. 

Doom spending, sebuah perilaku menghabiskan uang secara impulsif dalam situasi krisis atau stres emosional, sering kali menjadi salah satu bentuk pelarian dari kenyataan yang menyakitkan. Ini mirip dengan bagaimana trauma di film Smile menyusup ke dalam kehidupan Rose, menyebabkan dia melakukan tindakan-tindakan yang di luar kendali rasionalnya.

Kesimpulanya film ini memberikan gambaran tentang bagaimana trauma dan rasa cemas dapat mempengaruhi seseorang secara perlahan namun pasti. Film ini mengangkat isu-isu psikis, terutama dalam konteks masyarakat yang semakin sadar akan kesehatan mental. 

Film ini berusaha menggali lebih dalam ketakutan manusia yang paling mendasar adalah ketidakmampuan untuk memisahkan kenyataan dari ilusi, serta dampak trauma yang terus berulang.

Secara keseluruhan film Smile menggambarkan trauma dan teror dari sudut pandang horor, dan memberikan pesan yang relevan mengenai bagaimana trauma psikis yang tidak ditangani dapat berdampak besar pada perilaku dan kesehatan mental seseorang. Ini mencerminkan dinamika yang sama dalam fenomena doom spending, perundungan, dan bentuk lain dari tekanan psikologis yang sering kali memicu perilaku destruktif.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun