Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Panggilan dari Alam Hilang (Jejak Semu di Ujung Senja Bagian 3)

31 Agustus 2024   01:24 Diperbarui: 4 September 2024   21:49 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Panggilan dari Alam Hilang

Pagi itu, Rengganis menaiki sebuah bus tua yang menuju ke kota, dengan pemandangan desa yang perlahan-lahan menghilang ditelan jarak menjauh di belakangnya. 

Hatinya dipenuhi dengan harapan dan kegelisahan. Dia tidak tahu harus mulai dari mana, tapi dia merasa tugas ini adalah sesuatu yang harus dia selesaikan, bukan hanya untuk Sakti, tetapi juga untuk dirinya sendiri.

Sesampainya di kota, Rengganis mulai mencari-cari informasi tentang Bu Lestari, ibu dari Sakti. Dia mendatangi kantor kelurahan, perpustakaan kota, bahkan bertanya kepada para pedagang di pasar. 

Butuh waktu beberapa hari sebelum akhirnya dia menemukan jejak kecil dari seorang penjual bunga tua yang memberitahunya bahwa Bu Lestari tinggal di sebuah rumah kecil di pinggir kota, jauh dari hiruk pikukya kota.

Ketika Rengganis sampai di rumah itu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Rumah itu tampak tua dan sunyi, dengan taman yang dipenuhi ilalang yang tinggi. 

Ada aura keheningan yang kental sekali, hampir mencekam. Rengganis merasa hatinya berdegup lebih cepat ketika dia mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Dia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras.

Pintu terbuka pelan, berderit, dan seorang wanita tua muncul dari balik pintu. Wajahnya keriput dan matanya cekung, seolah-olah dia sudah lama tidak tidur. "Siapa kau?" tanyanya dengan suara serak.

"Saya Anis, Bu," jawab Rengganis dengan suara pelan mengenalkan nama pendeknya. "Saya ingin bicara tentang Sakti... anak Ibu."

Wanita tua itu tampak terkejut. Matanya membelalak, seolah-olah mendengar nama yang sudah lama terkubur dalam hatinya. "Apa yang kau tahu tentang Sakti?" tanyanya, suaranya bergetar.

Rengganis menceritakan semuanya, tentang pertemuannya dengan Sakti di bawah beringin, tentang pesan yang ingin Sakti sampaikan, dan tentang perasaan bahwa Sakti masih terjebak di antara dua dunia. 

Wanita tua itu mendengarkan dengan seksama, air mata mulai mengalir di pipinya yang keriput. "Sakti adalah satu-satunya anakku," kata Bu Lestari lirih. "Ketika dia hilang, aku merasa ada yang robek di dalam jiwaku... seperti sebagian dari diriku ikut hilang bersamanya."

Rengganis menggenggam tangan Bu Lestari. "Bu, Sakti ingin Ibu tahu bahwa dia masih di sini, dia menunggu Ibu... dia ingin kembali."

Mendengar itu, Bu Lestari tiba-tiba tersenyum samar, senyum yang lama tak pernah tampak di wajahnya. "Aku selalu tahu," katanya, "bahwa dia tidak benar-benar pergi. Dia selalu ada di sini, di hatiku. Mungkin sudah waktunya aku mencarinya."

Dengan mata yang kini tampak lebih hidup, Bu Lestari meminta Rengganis untuk menemaninya kembali ke Desa Kiara, ke pohon beringin tempat Sakti sering muncul. 

Meski tubuhnya lemah, tekadnya tampak lebih kuat daripada sebelumnya. Mereka kembali ke desa dengan bus yang sama, melewati jalanan berliku, seolah melintasi waktu dan kenangan yang panjang.

Saat tiba di desa, mereka segera menuju pohon beringin tua. Senja pun tiba, dan angin dingin mulai berembus, membuat daun-daun bergemerisik seperti bisikan. Bu Lestari berjalan perlahan mendekati pohon itu, lalu duduk di bawahnya, tepat di tempat di mana Sakti sering muncul.

"Sakti," panggilnya lembut, dengan suara yang dipenuhi rasa rindu. "Nak..., jika kau di sini, ibu ada di sini... Ibu menunggumu."

Sekitar mereka, angin seolah berhenti. Udara menjadi tenang, terlalu tenang. Lalu, tiba-tiba, dari balik pohon, bayangan Sakti mulai terlihat, samar dan transparan. Bu Lestari menahan napas, matanya dipenuhi air mata, tapi kali ini air mata bahagia.

"Ibu..." bisik Sakti dengan suara yang hampir tak terdengar. "Aku takut, Bu. Aku tersesat... dan aku tidak bisa menemukan jalan pulang."

Bu Lestari mengulurkan tangannya ke arah Sakti, seolah mencoba menjangkau bayangan itu. "Tidak apa-apa, Nak... Ibu di sini. Ibu akan membawamu pulang. Kau hanya perlu percaya."

Sakti menatap tangan ibunya dengan ragu, lalu perlahan, ia mulai melangkah mendekat. Langkah-langkahnya kecil, hampir tak terdengar, tapi setiap langkah terasa seperti beban yang terangkat dari bahunya. 

Saat Sakti meraih tangan ibunya, cahaya lembut mulai menyelimuti mereka berdua, seperti selimut hangat yang melindungi dari dinginnya malam.

Rengganis menyaksikan semuanya dengan air mata mengalir di pipinya. Ia bisa merasakan kedamaian yang mulai mengalir di sekitarnya. Angin berhembus lembut, dan suara daun bergemerisik terdengar seperti lagu pengantar tidur yang menenangkan.

Perlahan-lahan, bayangan Sakti semakin menguat, menjadi lebih nyata, dan seakan-akan terbungkus dalam pelukan ibunya. Wajah Bu Lestari tampak cerah, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun.

Kemudian, Sakti berbisik ke telinga ibunya, "Aku pulang, Bu... Aku pulang."

Dan saat itu, sesuatu yang ajaib terjadi cahaya di sekitar mereka perlahan memudar, dan Sakti menghilang. Tapi kali ini, bukan seperti bayangan yang hilang, melainkan seperti seseorang yang akhirnya menemukan jalan pulang. 

Bu Lestari tersenyum lembut, menoleh ke Rengganis. "Terima kasih, Nak," katanya. "Kau telah membawa anakku kembali."

Rengganis hanya mengangguk, tersenyum. Dia tahu tugasnya telah selesai, dan malam itu, di bawah beringin tua, ia merasakan kedamaian yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. 

Mungkin, untuk pertama kalinya, Rengganis benar-benar percaya bahwa yang pergi tak selalu benar-benar hilang.

Ada jejak-jejak halus yang selalu bisa ditemukan... di ujung senja, atau mungkin di tempat lain, di mana cahaya bertemu dengan bayangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun