Pendahuluan
Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang rencannya ini akan disahkan oleh DPR telah memicu protes dan demonstrasi besar-besaran. Inti dari kontroversi ini terletak pada beberapa perubahan utama yang dilakukan oleh DPR yang dianggap menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Beberapa poin utama dari revisi tersebut meliputi:
1. Ambang Batas Pencalonan (Threshold): MK sebelumnya memutuskan untuk menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dari partai politik menjadi lebih sejalan dengan calon independen. Namun, revisi UU Pilkada kembali mempertahankan ambang batas 20% kursi DPRD atau 25% suara sah untuk partai politik yang memiliki kursi di parlemen, hanya melonggarkan aturan ini untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD.
2. Usia Minimum Calon Kepala Daerah: MK telah menetapkan bahwa usia minimum calon kepala daerah harus dihitung saat pendaftaran, tetapi revisi UU ini mengembalikan aturan bahwa usia dihitung saat pelantikan, sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.
Perubahan ini dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk menguntungkan kelompok tertentu, dalam Pilkada mendatang.
Masyarakat Awam dan Kebingungannya
Namun, istilah "bingung" yang digunakan masyarakat dalam situasi ini tidak semata-mata mencerminkan ketidakpahaman mereka terhadap revisi UU ini. Sebaliknya, "bingung" menjadi simbol atas rasa frustrasi dan kemarahan yang semakin mendalam akibat keputusan-keputusan yang dianggap mengabaikan aspirasi mereka. Masyarakat bukannya tidak paham, mereka merasa diabaikan dan dipermainkan oleh kebijakan yang kerap berubah-ubah dan lebih memihak kepada segelintir elit politik.
Kebingungan ini lebih tepat dipahami sebagai perasaan tersudutkan, di mana masyarakat merasa bahwa suara dan logika mereka tak lagi diperhitungkan. Mereka melihat ini sebagai bentuk pengulangan dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang kerap mengabaikan kepentingan publik dan memprioritaskan kepentingan elit. Dan ironisnya, meskipun sudah berulang kali terjadi reaksi keras dari masyarakat, pemerintah tampaknya tidak belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya.
Dampak Revisi UU Pilkada
Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, yang sering kali terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan, revisi UU Pilkada ini seolah mengesampingkan suara mereka. Mereka merasa tidak berdaya dalam menghadapi kebijakan yang dianggap lebih berpihak kepada elit politik. Meskipun demikian, pepatah "Semut juga kalau diinjak bisa menggigit" seakan mengingatkan bahwa masyarakat kecil pun memiliki batas kesabaran.