Sebelumnya saya berterus terang bahwa saya adalah langganan dr. Psikiater, berdasarkan latar belakang tersebut saya merasa perlu menyodorkan opini tentang fenomena ternyata profesi dokter dan atau calon dokter juga dihantui depresi.Â
Fenomena di mana banyak calon dokter spesialis mengalami depresi adalah sesuatu yang perlu diperhatikan dan ditangani dengan serius. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan ini adalah termasuk tekanan akademis yang tinggi, persaingan yang ketat, beban kerja yang berat, serta ekspektasi yang tinggi dari diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Pendidikan kedokteran dan spesialisasi merupakan proses yang sangat menuntut, baik secara fisik maupun mental. Mahasiswa kedokteran harus menghadapi beban belajar yang tinggi, sementara calon dokter spesialis harus menanggung tanggung jawab yang lebih besar dalam hal pasien dan pengambilan keputusan medis yang kompleks.
Selain itu, stigma terhadap masalah kesehatan mental di kalangan tenaga medis juga dapat membuat sulit bagi mereka untuk mencari bantuan atau dukungan ketika mereka mengalami depresi atau stres berat.
Stigma terhadap masalah kesehatan mental di kalangan tenaga medis merupakan persepsi negatif atau stereotip yang melekat pada masalah kesehatan mental, yang dapat mencegah individu untuk mencari bantuan atau dukungan ketika mereka membutuhkannya.
Stigma ini bisa berasal dari berbagai sumber, termasuk budaya organisasi, norma sosial, dan persepsi individu.
Faktor yang menyebabkan stigma terhadap masalah kesehatan mental di kalangan tenaga medis bisa berupa:
1. Kekuatan dan KemandirianÂ
Profesi medis sering kali dianggap sebagai profesi yang memerlukan kekuatan dan kemandirian yang tinggi. Sebagai hasilnya, para dokter mungkin merasa tidak nyaman untuk mengakui bahwa mereka memiliki masalah kesehatan mental karena takut dianggap sebagai lemah atau tidak kompeten.
2. Stigma InternalÂ
Dokter dan calon dokter sering kali menempatkan tekanan besar pada diri mereka sendiri untuk menjadi sempurna dan sukses. Akibatnya, mereka mungkin merasa malu atau merasa gagal jika mengakui bahwa mereka mengalami masalah kesehatan mental.
3. Ketidakpastian ProfesionalÂ
Profesi medis sering kali melibatkan tingkat ketidakpastian yang tinggi dan tekanan yang konstan. Hal ini dapat menyebabkan dokter merasa sulit untuk mengakui bahwa mereka tidak dapat mengatasi tekanan atau stres.
Ketidakpastian tersebut mungkin meliputi:
- Ketidakpastian dalam Diagnosis dan Pengobatan: Sebagai seorang dokter, terdapat tingkat ketidakpastian yang inheren dalam proses diagnosis dan pengobatan pasien. Meskipun dokter telah menerima pelatihan yang baik dan memiliki pengetahuan yang luas tentang penyakit dan pengobatannya, masih ada kasus di mana diagnosis tidak jelas atau pengobatan yang direkomendasikan tidak efektif. Hal ini dapat menyebabkan stres dan kecemasan bagi dokter, terutama jika pasien tidak menunjukkan perbaikan atau jika kondisi pasien memburuk.
- Tekanan Klinis dan Keputusan Penting: Dokter sering dihadapkan pada situasi di mana mereka harus membuat keputusan klinis yang penting dan berdampak besar pada hidup pasien mereka. Misalnya, dalam situasi darurat atau pada kasus penyakit yang kompleks, dokter harus membuat keputusan dengan cepat dan tepat tanpa adanya jaminan bahwa keputusan tersebut benar-benar optimal. Ketidakpastian ini dapat meningkatkan tingkat stres dan ansietas bagi dokter, terutama jika hasil dari keputusan tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan.
- Perubahan dalam Praktik Klinis dan Teknologi Medis: Praktik klinis dan teknologi medis terus berkembang dengan cepat, yang dapat menciptakan ketidakpastian bagi dokter tentang apa yang merupakan standar perawatan terbaik. Dokter harus selalu memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka untuk tetap relevan dalam praktik klinis mereka, namun terkadang hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran akan ketidakpastian tentang apakah mereka melakukan perawatan yang tepat dan terkini bagi pasien mereka.
- Ketidakpastian dalam Karier dan Praktik: Dokter juga mungkin menghadapi ketidakpastian terkait dengan karier dan praktik mereka. Misalnya, mereka mungkin merasa tidak yakin tentang kemampuan mereka untuk mencapai tujuan karier yang diinginkan, atau mereka mungkin khawatir tentang perubahan dalam industri medis yang dapat memengaruhi praktik mereka di masa depan.
4. Ketidakpercayaan pada Sistem Dukungan
Beberapa dokter mungkin merasa tidak percaya pada sistem dukungan yang tersedia, seperti layanan kesehatan mental yang disediakan oleh rumah sakit atau organisasi medis. Mereka mungkin khawatir bahwa mencari bantuan akan berdampak negatif pada karier mereka atau bahwa masalah mereka tidak akan ditangani dengan serius.
Stigma terhadap masalah kesehatan mental di kalangan tenaga medis dapat memiliki dampak yang signifikan. Hal ini dapat menyebabkan penundaan dalam mencari perawatan yang sesuai, peningkatan risiko masalah kesehatan mental yang lebih serius, dan bahkan berisiko terhadap keselamatan pasien jika dokter tidak dapat berfungsi secara optimal.
Untuk mengatasi stigma ini, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan masalah kesehatan mental di kalangan tenaga medis, mengubah budaya organisasi agar lebih mendukung pencarian bantuan, dan menyediakan sumber daya yang mudah diakses dan bebas stigma bagi dokter dan calon dokter yang membutuhkannya.
Dalam menangani masalah ini, penting bagi institusi pendidikan kedokteran dan rumah sakit untuk menyediakan sumber daya dan dukungan yang memadai bagi calon dokter spesialis, seperti layanan kesehatan mental, program kesehatan dan kesejahteraan, serta dukungan sosial dari rekan-rekan mereka.
Selain itu, penting juga untuk mengubah budaya di dalam profesi kedokteran sehingga stigma terhadap masalah kesehatan mental bisa dikurangi, dan para tenaga medis merasa lebih nyaman untuk mencari bantuan ketika mereka membutuhkannya. Menjaga kesehatan mental para dokter dan calon dokter adalah kunci untuk menjaga kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI