Penting untuk dicatat bahwa saya bukan seorang profesional kesehatan, dan saran apa pun yang diberikan di sini janganlah dianggap sebagai pengganti nasihat medis langsung. Namun, jika Anda mengalami gangguan panik atau gangguan mental lainnya, penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan, seperti psikiater atau psikolog, untuk mendapatkan analisa yang tepat dan rencana pengobatan yang sesuai.
Ini berangkat dari pengalaman pribadi, diusia 20an saya sudah merasakannya. Perasaan-perasaan dan suasana hati yang datang begitu saja yang tak jelas sebab dan akibatnya.
Perasaan itu seperti gelisah, cemas, takut, bingung, keheran-heranan, keragu-raguan, putus asa, dan perasaan-perasaan dan suasana hati lain yang muaranya adalah kepanikan yang luar biasa.
Perasaan-perasaan dan suasana hati seperti di atas adalah biasa seandainya dalam kadar yang wajar dan penyebab yang jelas, tapi yang saya rasakan adalah perasaan yang sangat kuat dan mengganggu apalagi kalau sudah mencapai puncaknya yaitu perasaan panik hebat yang membuat konsentrasi hilang dan saya merasa seperti tenggelam sendirian di palung laut yang paling dalam.Â
Saya menyadari ada yang salah dalam diri dan kesehatan mental saya, tapi saat itu saya tidak mau terbuka dengan orang lain termasuk orang tua hanya berusaha menanganinya sendiri dengan memikirkan apa penyebab dan bagaimana mengatasinya.
Tapi lama-kelamaan orang tua pun menyadari kalau kesehatan saya terganggu, munculah berbagai macam asumsi dan stigma dari keluarga yang justru memperparah keadaan yang saya rasakan. Dari mulai tuduhan saya mengamalkan ilmu kebatinan yang tidak benar dan stigma lingkungan yang saya rasakan sebagai seorang sakit mental begitu melekat itu semua memperburuk pikiran saya untuk berpikir positif.
Kebiasaan di kampung keadaan sakit seperti saya suka dibawa keorang pintar, ustadz, tabib atau apalah namanya. Tapi itu tidak membuat sakit saya sembuh.
Seiring perjalanan waktu ditengah penderitaan sakit seperti itu yang kadang datang tanpa diundang saya mulai dapat pekerjaan dan mempunyai penghasilan, saya kuliah dengan biaya sendiri dan akhirnya menikah.Â
Setelah menikah saya mulai mempertimbangkan untuk meminta bantuan professional (psikiater) dari sinilah benang merahnya mulai terurai, saya mulai bisa menangani penyakit saya meskipun secara berangsur. Dan akhirnya saya sadar kalau ini adalah sudah jalan hidup yang harus saya terima.
Perasaan-perasaan itu pun masih suka datang sampai sekarang tapi tidak separah dulu, dengan mengenal perasan dan suasana hati tersebut saya bisa dengan segera menetralisirnya dan jika terpaksa saya minum obat benzodiazepin lah solusi yang diresepkan psikiater tentunya.
Tapi tidak sampai disitu saja permasalahannya, stigma lingkungan yang sudah melekat begitu susah untuk dikembalikan dan saya pun mencoba menetralisirnya dengan prestasi dan karya.
Secara perlahan saya buktikan satu-persatu bahwa saya adalah manusia biasa yang bisa mengalami sakit tapi masih bisa berguna bagi manusia lain dan lingkungannya. Bahkan lebih dari itu saya punya potensi yang bisa saya tunjukan, yang orang lain belum tentu bisa melakukannya.
Dimulai dari saya bisa mendapat pekerjaan lulus seleksi PNS, hidup mandiri, punya keluarga (anak dan istri), dan terakhir saya buktikan saya bisa berkarya dengan menulis dan membuat film dokumenter.
Dan Alhamdulillah semua berangsur membaik, semua mengalir seperti air yang mengikuti jalan yang seharusnya dilewati. Ketika saya masih menemukan stigma tentang diri saya yang dulu ya saya terima saja memang dulu saya begitu karena sedang sakit. Tapi tidak dengan sekarang.
Kesimpulannya untuk menangani gangguan seperti di atas (anxiety disorder) adalah keterbukaan dan dukungan orang terdekat dalam hal ini dukungan orang tua, istri, anak dan juga diri sendiri harus bisa ikhlash menerima. Keikhlashan disini bukan berarti kita lepas dari upaya, usaha, tarekah, do'a, kuatkan hati, dan mantapkan dzikir.
Stigma lingkungan sekitar juga sangat berpengaruh, maka dari itu saya tulis pengalaman ini sebagai cermin. Rangkulah orang-orang dengan anxiety disorder untuk sembuh, bukan memperparahnya dengan stigma-stigma negatif yang menambah beban hidupnya. Janganlah kita kembali kezaman dahulu yang mengambil jalan memasungnya. Na'udzubillahimindalik.
Berpikir positif, yakin untuk bisa sembuh, karena keyakinan untuk sembuh sangatlah sulit ketika kita mengalami gangguan anxiety disorder. Jadikanlah tulisan saya ini sebagai contoh bahwa gangguan-gangguan kecemasan (anxiety disorder) bisa disembuhkan dan saya bisa bertahan selama 30 tahun.
Selanjutnya lakukan segala sesuatu dengan pelan-pelan, sederhana, dan tidak berlebihan. Jangan membebani diri dengan pikiran negatif, segeralah move on dan kembalilah berpikir positif. Jauhi kemarahan, kesedihan, dan perasaan lainnya dengan kesabaran. Pengalaman saya ketika kita marah atau sedih yang berlebihan maka siap-siap saja anxiety disorder menghampiri.
Lebih dari itu saya juga masih bisa berbuat banyak untuk kebaikan dan beribadah sebagai tugas utama hidup kita di dunia. Masih bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, menyelesaikan kuliah dengan biaya sendiri, hidup mandiri, punya keluarga dan berkarya. Yang terakhir saya ingin sampaikan bahwa dengan menulis ternyata bisa mengendalikan stres.
Sekian semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H