Sang Alkemis
“Jika kau mulai dengan menjanjikan apa yang belum kau miliki, kau akan kehilangan hasratmu untuk bekerja guna mendapatkannya."
Novel karya Paulo Coelho ini adalah novel yang seharusnya dibaca oleh remaja dan orang tua. Dalam novel ini, kita akan menemukan berbagai hikmah dalam kehidupan, yang mungkin tiap pembaca mengambil secara berbeda dengan pembaca yang lain.
Saya sendiri menikmati kisah perjalanan dalam novel ini secara keseluruhan. Saya menikmati bagaimana kisah seorang bocah yang menggebu – gebu ingin mendapatkan cita – citanya, atau legenda pribadinya. Yang legenda pribadi tersebut harus dilalui dengan perjalanan panjang. Untuk menempuh perjalanan itu, sang bocah memilih pekerjaan sebagai penggembala. Baginya, bekerja sebagai penggembala akan membawanya ke sudut – sudut dunia. Dia menggembala dari satu kota ke kota yang lain. Kemudian, mencukur bulu domba untuk dijual, lalu melanjutkan perjalanan lagi. Di sela – sela perjalanan atau saat menggembala, sang bocah bisa memanfaatkan waktu untuk membaca buku. Menurut saya, ini pekerjaan yang sangat menyenangkan!!
Kisah pun dilanjut dengan mimpi yang datang pada sang bocah. Dalam mimpi tersebut, dia diberi tahu kalau di Piramida ada harta karun. Mimpi itu datang berulang, seolah meyakinkan pemuda kalau dia akan mendapatkan harta tak ternilai jika berhasil menuju piramida. Dalam mimpinya, dia diberitahu secara detail dimana letak harta karun tersebut.
Dari mimpi yang hadir itulah perjalanan sang bocah dimulai. Dia menjual semua domba, kemudian mengejar mimpinya. Dalam perjalanan pengejaran legenda pribadi itu, dia menemui banyak rintangan dan pelajaran.
Dilihat dari kisahnya yang berakhir bahagia, tentu novel ini akan dianggap biasa. Tapi, jika kita merenung lebih banyak dari kisah perjalanan yang dilalui sang bocah untuk mencapai impiannya, kita akan mendapati banyak hikmah.
Karena banyak kisah yang menginspirasi, saya akan memberikan satu bagian dari perjalanan sang bocah menuju piramida. Dia, begitu tiba di Arab bekerja kepada penjual kristal. Saking sepinya toko kristal, sang bocah hanya akan dibayar jika kristal laku terjual. Dia mendapatkan bagian dari penjualan tersebut. Tapi, sang bocah tidak kehabisan akal. Selain membuat kristal makin mengkilap, dia juga membuat inovasi seperti membuat lemari pajangan. Bagi pemilik toko, membuat lemari pajangan akan menjadi persoalan serius jika gagal, karena mereka hanya punya “sedikit” dana. Artinya, mereka mempertaruhkan sedikit dana tersebut demi ide sang bocah. Yang jika gagal, pupuslah dana yang mereka miliki.
Tapi, sebagaimana saya katakan diatas kalau cerita ini datar, mereka berhasil menjual kristal – kristal lebih banyak dari sebelumnya. Bahkan, mereka pun menuju pada inovasi yang jauh lebih tinggi lagi yaitu membuat teh rasa jahe yang disajikan dengan gelas kristal dan dijual di puncak gunung. Keberhasilan bisnis kristal ini hampir saja membunuh cita – cita sang bocah untuk ke Piramida. Tapi, pada akhirnya dia memilih untuk melanjutkan perjalanan.
Dari novel ini, yang membuat saya terus membaca tanpa henti bukanlah kisah sang bocah, tetapi cerita hikmah apa saja yang diberikan. Kalau menilik kisah perjalanan, bagi saya kisah ini tidak begitu berliku, jadi memang tidak sulit ditebak. Tapi, novel ini memberi banyak kisah hikmah yang dibalut dalam cerita keseharian.
Akhirnya, saya akan menutup resensi saya dengan mengutip satu bagian yang paling berkesan bagi saya, yang mungkin bagian ini tidak berkesan bagi Anda. Karena mungkin saya mulai tua, maka dialog Ayah dan Anak ini menjadi bagian paling menarik bagi saya. Disanalah awal mula sang bocah, namanya Santiago, memulai perjalanan besarnya.
"ORANG-ORANG DARI SELURUH DUNIA PERNAH MELEWATI desa ini, Nak," kata ayahnya. "Mereka datang untuk mencari hal-hal baru, tapi begitu mereka pergi sebenarnya mereka sama saja dengan saat mereka datang. Mereka mendaki gunung untuk melihat kastil itu, dan mereka akhirnya menyimpulkan bahwa masa silam lebih baik daripada yang kita alami sekarang ini. Mereka berambut pirang, atau berkulit gelap, tapi pada dasarnya mereka sama seperti orang-orang yang tinggal di sini."
"Tapi aku ingin melihat kastil-kastil di kota-kota tempat tinggal mereka," si bocah menjelaskan.
"Orang-orang itu, saat mereka melihat negeri kita, pun berkata ingin tinggal di
sini selamanya," lanjut ayahnya.
"Kalau begitu, aku ingin melihat negeri mereka dan melihat bagaimana kehidupan mereka," kata anaknya.
"Orang-orang yang datang ke sini itu uangnya banyak, jadi mereka mampu berkelana," kata ayahnya. "Di kalangan kita, yang berkelana hanya para gembala."
"Kalau begitu, aku mau jadi gembala!"
Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Esok harinya, dia memberi anaknya kantong bersi tiga koin emas Spanyol kuno.
"Ini kutemukan di ladang suatu hari. Aku ingin ini menjadi bagian warisanmu. Tapi pakailah untuk membeli domba. Bawalah ke padang-padang, dan suatu hari kau akan tahu bahwa desa-desa kitalah yang terbaik, dan perempuan-perempuan kitalah yang tercantik."
Dan dia memberi restu pada anaknya. Si bocah dapat melihat dari pandangan mata ayahnya hasrat untuk bisa, bagi dirinya sendiri, berkelana ke seluruh dunia -- suatu hasrat yang masih menyala, meski ayahnya berusaha menguburnya, selama berpuluh tahun, di bawah beban perjuangan untuk mendapatkan air untuk minum, pangan untuk makan, dan tempat yang sama untuk tidur setiap malam sepanjang hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H