"ORANG-ORANG DARI SELURUH DUNIA PERNAH MELEWATI desa ini, Nak," kata ayahnya. "Mereka datang untuk mencari hal-hal baru, tapi begitu mereka pergi sebenarnya mereka sama saja dengan saat mereka datang. Mereka mendaki gunung untuk melihat kastil itu, dan mereka akhirnya menyimpulkan bahwa masa silam lebih baik daripada yang kita alami sekarang ini. Mereka berambut pirang, atau berkulit gelap, tapi pada dasarnya mereka sama seperti orang-orang yang tinggal di sini."
"Tapi aku ingin melihat kastil-kastil di kota-kota tempat tinggal mereka," si bocah menjelaskan.
"Orang-orang itu, saat mereka melihat negeri kita, pun berkata ingin tinggal di
sini selamanya," lanjut ayahnya.
"Kalau begitu, aku ingin melihat negeri mereka dan melihat bagaimana kehidupan mereka," kata anaknya.
"Orang-orang yang datang ke sini itu uangnya banyak, jadi mereka mampu berkelana," kata ayahnya. "Di kalangan kita, yang berkelana hanya para gembala."
"Kalau begitu, aku mau jadi gembala!"
Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Esok harinya, dia memberi anaknya kantong bersi tiga koin emas Spanyol kuno.
"Ini kutemukan di ladang suatu hari. Aku ingin ini menjadi bagian warisanmu. Tapi pakailah untuk membeli domba. Bawalah ke padang-padang, dan suatu hari kau akan tahu bahwa desa-desa kitalah yang terbaik, dan perempuan-perempuan kitalah yang tercantik."
Dan dia memberi restu pada anaknya. Si bocah dapat melihat dari pandangan mata ayahnya hasrat untuk bisa, bagi dirinya sendiri, berkelana ke seluruh dunia -- suatu hasrat yang masih menyala, meski ayahnya berusaha menguburnya, selama berpuluh tahun, di bawah beban perjuangan untuk mendapatkan air untuk minum, pangan untuk makan, dan tempat yang sama untuk tidur setiap malam sepanjang hidupnya.
Â