Pertama kali saya terbang ke Maroko, sebelum mendarat, dari kursi pesawat yang tepat di sebelah jendela, saya melihat banyak petak-petak lahan kosong. Pemandangan itu kontras dengan lanskap Indonesia yang rapat sekali bangunannya, sementara Maroko terlalu renggang.
Itu kontras awal yang kentara di mata saya. Kontras selanjutnya yang paling terasa adalah, di Maroko populasi anjing sepertinya lebih banyak dari kucing. Saya yang memang sudah mendarah daging di Indonesia was-was juga, khawatir terkena liur anjing yang menurut kebanyakan orang najis.
Berkebalikan dengan mayoritas pendapat ulama, Imam Malik, begawan hadis yang jadi panutan orang Maroko dalam berfikih, menganggap anjing tidak najis. Padahal Imam Malik sendiri dalam Muwatta-nya meriwayatkan hadis:
"Jika ada anjing minum di tempat kalian minum, maka basuhlah tujuh kali."
Ulama lain berpedoman salah satunya pada hadis ini, atau hadis dengan redaksi serupa, untuk menghukumi najisnya air liur anjing. Dengan logika, perintah membasuh dalam Islam berhubungan dengan mensucikan antara dua hal: hadas atau najis.
Menurut Imam Malik, perintah membasuh di sini bukan karena air liur anjing dihukumi sebagai najis, tapi sebagai qadzar (sesuatu yang kotor, tapi bukan najis). Memangnya ada ya sesuatu yang kotor tapi bukan najis? Jawab Imam Malik, ada. Seperti dalam hadis tentang siwak:
"Bersiwak itu membersihkan mulut, dan diridhai oleh Allah."
Mulut dinyatakan sebagai tempat yang kotor, dan bisa dibersihkan dengan siwak. Namun, kita tahu mulut tidaklah najis. Dalam hal ini Imam Malik juga menghukumi air liur anjing bukan najis.
Lebih lanjut lagi, bagaimana mungkin air liur anjing bisa lebih najis daripada kotorannya? Sebab tidak ada riwayat tentang membasuh tujuh kali jika terkena kotoran anjing. Imam Malik juga berpegangan dengan ayat:
"Katakanlah bahwa yang dihalalkan kepada kalian adalah yang baik-baik. Dan hewan pemburu yang kalian latih untuk berburu menurut apa yang telah Allah ajarkan kepada kalian, maka makanlah apa yang mereka tangkap untuk kalian." (Al-Maidah [5]: 4)
Hewan pemburu di sini bisa dimaksud juga dengan anjing pemburu, sebab makna mukallibin pada ayat tadi adalah mu'allimun al-kilab (pelatih anjing). Rasulullah pernah menerangkan:
"Kalau kamu mengirim anjing yang terlatih, dan kamu sudah menyebut nama Allah atasnya, makanlah (hasil buruannya)."
Rasulullah tidak menyuruh untuk mencuci daging buruannya lebih dulu, padahal sudah barang tentu anjing yang terlatih tadi berburu dengan mulut dan giginya. Ada pula hadis yang meriwayatkan anjing keluar-masuk masjid dan para sahabat tidak membilasnya dengan air.
Lantas mengapa Rasulullah menyuruh untuk membasuh bekas jilatan anjing sebanyak tujuh kali? Imam Malik juga tidak memberikan 'illat/alasan, selain itu karena tuntutan ibadah saja (ta'abbud).
Itu beberapa hal tentang perbedaan pandangan ulama seputar hukum anjing dalam Islam, sebagai pengingat juga bahwa fikih adalah pandangan ulama terhadap syariat dan sangat mungkin berbeda-beda. Syariat sifatnya tetap, sedangkan fikih dapat berubah tergantung pembacaan terhadap suatu dalil.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H