Mohon tunggu...
Agus Geisha
Agus Geisha Mohon Tunggu... -

Penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buat Maria

10 September 2016   00:41 Diperbarui: 10 September 2016   01:01 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiga bulan menikah, dia sering meninggalkanku. Satu dua hari untuk rapat atau pergi ke kota lain dalam keadaan aku hamil muda. Sampai usia kandunganku menua, dia masih selalu meninggalkanku, meninggalkan jabang bayi yang ada di perutku. Bulan terakhir kehamilan pertamaku, dia lebih sering berada di rumah, menulis dan mengundang beberapa kawan. Berdiskusi hingga dini hari, berbisik dan mengecilkan pelita. Sati lahir dan negara masih sedang memanas, sisa-sisa orang yang terlibat penculikan jendral ditangkapi dan tak pernah pulang. Suamiku ada dan menemani ketika persalinan, memberi nama pada bayinya.

Ketika Sati berumur satu setengah tahun, dua bulan aku tak haid. Suamiku sering mengajak kami berpindah rumah sejak Sati berumur enam bulan. Tiga kali kami berpindah rumah. Aku mulai tak bisa mengikutinya, dia seperti menyimpan sesuatu. Suamiku tak lagi banyak bicara dan cerita. Padahal, dia adalah penunggang kuda hitam yang selalu aku kagumi. Beberapa kali kawannya datang menjemput. Arman, Wawan atau Munarto. Mereka berlalu di ujung gang atau di pintu mobil.

Aku selalu menjadi istri yang baik, menunggunya pulang, menyediakan makan dan pakaian. Aku percaya dia hanya sedang bekerja. Untuk negara.

Dia mengalahkan ku sekali lagi.

***

“Tiba-tiba belasan orang memasuki rumah dengan cara mendobrak pintu, Sati kecil terbangun dan menangis. Aku rasa janin kecil dalam perut pun ikut mendengar bisingnya. Orang-orang itu pemuda kampung dan beberapa orang yang tak ku kenal. Mereka menggeledah rumah, mengeluarkan semua isi lemari. Membawa buku-buku yang ada di dalamnya. Dain kain berwarna merah serupa bendera. Mereka membawa suamiku. Menyeretnya.”

Aku menggenggam kantong platik berisi daun dewa, menyimak ceritanya. Melihat air mukanya yang berubah. Dia berkali-kali menyingkap rambutnya, aku melihat sekitar. Apa ada yang melihatku duduk bersama Jihan Tua? Aku sudah tak peduli. Aku penasaran.

“Aku merasa dikalahkan lagi untuk kesekian kalinya. Dia menyembunyikan sesuatu dariku. Dari istrinya. Aku menangis dan bingung. Semua tetangga hanya menonton dari balik pagar dan memandang sinis. Ketika suamiku dinaikan ke atas truk, sebagian dari mereka meludahinya. Aku perempuan yang sedang hamil, bisa apa aku?”

Aku melihat matanya berkaca-kaca. Baru kali ini aku mendengarnya berbicara, dan aku yakin dia tak gila.

“Aku membesarkan Sati kecil di rumah itu bertahun-tahun. Menunggunya setiap hari, aku masih berharap dia pulang dan berharap bahwa dia bukan salah sau orang yang ditangkapi. Dia tak pernah pulang. Sati menikah, aku ikut dengannya ke tempat ini. Masih menunggu suamiku. Aku dikalahkan sekali lagi.”

Dia tersenyum, sesuatu yang telah lama ingin keluar dari hidupnya seperti meleleh melalui pori kulitnya. Aku melihatnya menjadi orang yang berbeda. Aku tak pernah tahu mengapa dia meilihku sebagai teman bercerita. Daun dewa dalam kantong plastik masih aku genggam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun