***
Kami menikah usai ramai-ramai jendral diculik di jakarta, saat itu usiaku delapan belas tahun dan dia sembilan belas. Kami kenal sejak aku lahir ke dunia, dan dia berusia satu tahun. Kami kawan sepermainan sejak kecil. Dia satu-satunya lelaki yang bisa menjagaku sekaligus mengangkangiku, dia satu-satunya lelaki yang tak pernah menyakitiku sekaligus menertawaiku.
Aku ingat, senja itu kami berdua batang kayu yang kami jadikan sebagai kuda tunggangan. Sedepa kayu yang kami anggap sebagai kuda perang yang membawa kami menjelajahi padang untuk menumpas musuh. Kami di pihak berbeda, hitam adalah kudanya dan putih adalah kudaku. Kami berperang dengan sengit, saling balas pukulan dan sepakan sampai dia mengatur bahwa kuda hitam adalah kuda yang harus selalu menang. Dia menggamit kudaku dengan tangan kirinya, mendorong tubuhku hingga terjatuh dan bersorak. Dia mengalahkan ku sekali lagi.
Aku selalu menang, katanya sambil tertawa. Menertawaiku.
Aku pulang sebelum maghrib dengan luka di lutut, bapak dan ibuku tak kuberitahu. Aku mengobatinya sendiri. Tak merasa dendam.
Setelah dewasa, meski rumah kami berjauhan, kami selalu saling mengunjungi, terlebih karena orang tua kami bekerja di perusahaan yang sama. Surat Kabar Fajar Pagi. Aku sering mengantar bapak mengunjungi keluarganya, ikut menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan ibunya dan mencuri dengar obrolan orang tua sambil kami bertukar cerita.
“Kau tahu, orang-orang di barat sedang merancang rencana untuk mengambil alih lagi negara. Kali ini mereka tak membawa serdadu dan senjata. Kali ini mereka tak meminta parang. Mereka membuat bank. Merencanakan penjara tanpa jeruji dan siksa tanpa cemeti. Dan aku, sedang merencanakan perlawanan.” Dia pintar seperti biasa, aku hanya pendengar yang baik. Aku kira menjadi pendengar yang baik sudah bagus di hadapanya.
Setiap berkunjung ke rumahnya, aku selalu mendengar cerita-cerita baru tentang Sarekat Islam, Tan Malaka atau revolusi. Aku selalu menjadi pendengar yang baik, kepiawaiannya bercerita selalu membuat lidah kelu. Kadang aku membaca buku yang dipinjamkannya, mencoba mengejar apa yang ada dalam pikirannya, ikut tenggelam dalam dunianya. Tetapi selalu, dia mengalahkan ku sekali lagi.
Beberapa bulan sebelum kami menikah dan orang tua kami bersepakat untuk berbesan, dia sempat tak pulang ke rumahnya. Dua pekan lamanya. Begitu pulang dia menjadi orang yang lebih sibuk, lebih sering rapat dan pergi ke luar kota. Buku-buku semakin banyak memadati lemari dan meja. Buku-buku berbahsa Inggris dan Belanda.
Pada hari pernikahan kami, jumat dibulan juli, banyak berdatangan tamu yang tak ku kenal. Anak-anak muda seusia kami dan ada yang lebih tua, berkacamata tebal dan merokok. Sebagian dari mereka adalah kawan-kawan pengantin pria, bukan aku. Berbicara dengan dialek yang berbeda-beda, dengan bahasan yang sama. Negara.
Aku tersingkir di hari pernikahanku. Dia mengalahkan ku sekali lagi.