4) Saya menggunakan pendekatan "dekonstruksi" (atau apalah namanya) untuk mengkreasi bentuk kaki, ekor, surai, dan sayap Si Drawa. Saya bertanya-tanya juga sebelum menggores;, "Apakah kaki, sayap, dan ekor HARUS SELALU menempel di badan?" dan "Apakah sayap dan ekor harus lebar seperti penampakan asli Cendrawasih?". Pertanyaan2 liar itu saya timbulkan untuk menciptakan solusi desain maskot yang lebih imajinatif dan jauh dari kesan kolot/formal.
5) Untuk masalah warna, beberapa bagian tubuh Drawa masih menggunakan warna mirip Cendrawasih. Namun untuk kaki, ekor, dan mata, saya menggunakan warna biru yang bagi saya mewakili sifat "Paradise" dari burung khas Papua ini.
6) Sepertinya dari dulu desain maskot Asian Games memang harus selalu menampilkan logo "Matahari Merah". Kali ini saya taruh di bagian dada Si Drawa.
7) Sekali lagi, maksud orat-oret ini bukan untuk menekankan bentuk morfologis maskot itu sendiri. Saya memang sengaja menampilkan eksekusi desain minim-antroposentrik yang agak ekstrim (kaki dan ekor terpisah dari badan). Namun yang jauh lebih penting adalah pendekatan desain yang diterapkan terhadap Si Drawa (dan mungkin maskot2 lainnya) yang tidak harus selalu ruwet, harafiah, dan mirip manusia.
Terakhir, Cendrawasih diberi julukan sebagai "Burung Firdaus". Julukan itu sebenarnya bisa menjadi "keyword" bagi desainer untuk mengeksplorasi desain yang lebih dinamis, liar, imajinatif, namun tetap ikonik bagi Si Drawa.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H