Mohon tunggu...
Agus Daryanto
Agus Daryanto Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia

Pembelajar kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Besarku

25 November 2020   14:55 Diperbarui: 25 November 2020   15:10 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini adalah Hari Guru Nasional. Dapat kita lihat tebaran tulisan, ucapan, gambar, maupun video di lini masa untuk memeringatinya. Tapi aku ingin merayakannya dengan cara lain. Maka aku coba buka kembali stok memori yang ada di super hardisk Illahi di kepalaku. Aku tapis dari sejak balita sampai sekarang menjelang tua. Data kompilasi 30 tahun lebih telah berseliweran memutari tempurung kepalaku. Dan akhirnya aku menemukan beliau.

Jika harus menyebut salah satu guru terbesarku, maka ia adalah Bapak Abdul Rochim, guru ngaji di kampungku. Sebenarnya aku dan teman-teman mengaji lebih sering memanggil beliau Pak Dul. Namun di luaran, orang-orang memanggil beliau dengan sebutan khas Lek Dul.

Lek Dul adalah sosok guru ngaji Nahdhiyin sederhana dengan profil luar biasa di mataku. Ia senantiasa istiqomah setiap sore mengajari anak-anak mengaji sejak aku belum ingat apa-apa sampai dengan sekarang, artinya sudah 30 tahunan mengajar, konsisten sampai sekarang. Dengan keterbatasan fisik pada kaki yang disandang sejak lahir, itu tak menyurutkan langkah beliau berjalan ke masjid untuk mengajari kami mengaji.

Selain sebagai guru mengaji, beliau juga seorang modin, aktif dalam kegiatan sosial sebagai penasehat karang taruna. Kadang juga menjadi pranata cara atur pasrah tinampi saat ada warga yang punya hajat.

Ia pernah menikah tapi istrinya meninggal karena sakit jantung. Dari istrinya itu ia mempunyai satu anak perempuan bernama Fatonah dan satu laki laki yang namanya sama denganku Agus. Kini ia hidup dengan kedua anak yang sama-sama luar biasa dilihat dari sisi berbeda. Anak perempuannya berkebutuhan istimewa, sedangkan anak lelakinya saya yakin nanti akan mampu memuliakan dan mengangkat derajat orangtuanya. Aamiin.

Lek Dul. Sebagai guru ngaji tradisional, metode yang beliau gunakan cukup beragam. Kami diajari ngaji iqro (berjenjang tingkat 1-6), yang didalamnya ada ilmu tajwid, sampai kami bisa membaca quran. Di samping itu, beliau sering bercerita kisah-kisah nabi, menuntun sholawat-sholawat khas warga NU, sampai mengamalkan rutinitas 'berjanjen' tiap Kamis (belakangan aku baru tau bahwa asal istilah itu berasal dari Kitab Al Barzanji karangan Ja'far Al Barzanji, yang berisi doa puji - pujian berisikan riwayat Nabi Muhammad yang dibawakan dengan lagu). Untuk ukuran guru mengaji, suara Lek Dul terbilang merdu dan sangat me-'Rhoma'. Di masa itu, semua penyanyi dangdut pria yang bagus harus bersuara seperti Rhoma Irama. Rumus paten warna suara. Tak jarang beliau menyisipkan pesan-pesan dakwah dengan lagu dan syair Soneta.

Setelah sholat ashar, kami sejumlah kurang lebih 20 anak, selalu datang ke masjid. Di awal pembelajaran, kami duduk berderet dengan lesehan. Di depan kami ada meja rendah dari kayu akasia campur sengon. Semua penuh coretan dan pinggirnya tak ada yang utuh rata  karena kami seolah telah menjadi ahli ukir seni meskipun sekedar keratan berbentuk huruf v yang dibuat dengan pisau mini pengasah pensil.

Kami biasa membuka dan menutup kegiatan dengan doa. Di antara keduanya itulah ada sejuta cerita.
Aku ingat pertama dulu kami bayar SPP, atau lebih tepatnya bayar uang kapur, sebesar Rp.500 per bulan. Ya. Uang itu untuk membeli kapur tulis. Dulu kami belajar dengan media kapur gores di papan tulis hitam yang digantung tali rafia di dinding serambi masjid. Kapurnya itu cepat sekali habis bukan hanya untuk kegiatan belajar tetapi juga karena dipatah-patahkan oleh anak-anak. Entah mengapa mematahkan kapur saat itu rasanya nikmat luar biasa. Suara 'klek' nya bagi kami seperti candu. Melihat kapur panjang utuh seperti sesuatu yang diharamkan. Setelah patah sebagiannya lalu saling balas beterbangan. Siapa lagi kalau bukan kami dalangnya. Sebagiannya lagi, kapur yang daya patah dan daya terbangnya habis, kami gerus menjadi bubuk, hobi aneh lain tentang kapur.

Tiba saat antri menunggu giliran, tak jarang riuh kami melebihi pasar induk di pagi hari karena yang bermimik serius hanya dia yang sedang setor kemampuan baca alquran kepada guru. Sebagian anak-anak yang kakinya tak betah diam sibuk berlari-larian di halaman, bersebaran persis seperti pukulan telak pertama pada permainan bilyard bola sembilan. Lek Dul menghadapi kami semua dengan sabar. Meski kadang jengkel, tapi sangat jarang.

Di tempat itu kami menghabiskan sore hari. Di situ kami menyerap ilmu dan di situ pula kami melampiaskan segala bentuk kenakalan. Nakal anak-anak kampung yang orisinil dan apa adanya tanpa pengaruh video Youtube juga merdeka dari penjajahan Tik Tok. Nakal yang tak berarti bagi Lek Dul.

Baginya, membukakan gerbang Islam bagi kami anak-anak yang awam agama adalah yang utama. Menurutnya, menyalakan lilin-lilin kecil cahaya Ilahi adalah prioritas. Meskipun kami sadar bahwa kami sebagai murid jauh dari berbakti, beliau pasti maklum karena Nabi Musa saja gagal menjadi murid yang baik bagi Nabi Khidir, apalagi kami, anak kampung yang amatiran.

Pernah ketika aku pulang kampung, aku berpapasan dengan beliau. Tentu saja kini ia nampak lebih tua, ada sedikit keriput di dahinya, juga beberapa uban telah menjadi mahkotanya. Tapi aku melihat beliau masih dengan semangat yang sama.

Dalam hati aku berkata:
Terima kasih Lek Dul telah menjadi cahaya bagi kami. Terima kasih telah menuntun masa kecil kami hingga kami tau mana jalan yang terang. Allah akan memuliakan engkau.

(Agus Daryanto, 25 November 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun