Oleh: Kolier Haryanto
Diberlakukannya Perpres No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, ternyata telah menjadi isue yang meresahkan di tengah makin sulitnya mencari pekerjaan yang baik di negeri sendiri. Keresahan ini tidak saja menakutkan masyarakat bawah, karena berita masuknya ratusan ribu TKA dari Tiongkok yang menjadi tenaga kasar, yang telah melanggar perpres dibiarkan.
Tetapi keresahan itu ternyata juga melanda dunia pendidikan tinggi (PT), karena Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Risetdikti) sangat antusias untuk segera "mengimpor" ratusan dosen asing, yang selanjutnya akan diangkat menjadi dosen tetap. Secara umum ada tiga alasan mengapa Risetdikti begitu meyakinkan hendak mengimpor dosen asing, yakni:
1) untuk mengembangkan riset,
2) meningkatkan semangat kompetitif dan mutu dosen, dan
3) mengangkat peringkat perguruan tinggi lokal sebagai universitas kelas dunia, atau world class university (WCU).
Dari berbagai pendapat yang muncul di media dapat dikelompokan menjadi dua. Kelompok pertama yang mendukung kebijakan Risetdikti. Kelompok ini berpandangan bahwa, internasionalisasi PT diperlukan untuk meningkatkan posisi PT Indonesia dalam lomba peringkat dunia.
Untuk itu jika perlu, bukan hanya dosen asing yang akan diimpor, tetapi staf akademik dan manajemen juga dari asing agar dapat menarik mahasiswa asing sebanyak-banyaknya. Ini semua merupakan indikator untuk penguatan peringkat menjadi WCU. Jalan pintasnya, mereka mendukung Risetdiktimemberi ijin operasi perguruan tinggi asing (PTA) kelas dunia membuka kampus di wilayah nusantara.
Sementara kelompok kedua, yang tidak mendukung, atau menolak kebijakan Risetdikti berpandangan bahwa, internasionalisasi PT tidak sejalan dengan sistem pendidikan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan impor dosen asing, apalagi memberi ijin PTA membuka kampus di tanah air akan mengganggu iklim pendidikan tinggi di Indonesia, yang beberapa diantaranya sedang tumbuh menjadi WCU.
Dosen dan perguruan tinggi Indonesia tidak perlu, dan tidak mungkin dikompetisikan secara langsung dengan dosen asing dan PTA, karena tidak fair. Dosen dan PT kita penuh keterbatasan dan terikat dengan berbagai regulasi yang "njlimet," sedangkan dosen asing dan PTA akan mendapat perlakuan istimewa (privilege), jika tidak tentu mereka tidak akan mau.
Dengan privilege itu mereka akan memanfaatkan NKRI menjadi pasar strategis, laboratorium besar, dan pusat inovasi. Sementara dosen dan PT kita masih berjuang melawan keterbatasan dan perangkap regulasi (regulations trap), sehingga hanya bisa jadi penonton kesuksesan dosen asing dan PTA, dan kehilangan potensi strategis, hasil penelitian dan inovasi.