Mohon tunggu...
Agus Nur Siswa
Agus Nur Siswa Mohon Tunggu... Lainnya - Wiraswasta

Disabilitas naik kelas dengan selembar kertas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Data Belum Di-upgrade

29 Oktober 2024   14:43 Diperbarui: 29 Oktober 2024   14:52 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi kemiskinan adalah memberikan bantuan kepada masyarakat ekonomi lemah baik bantuan langsung tunai maupun non tunai. Banyak sudah berbagai macam jenis bantuan sosial yang sudah dialokasikan oleh pemerintah, mulai dari BLT,  BPNT, PKH, dan masih banyak lagi jenis bantuan-bantuan sosial lainnya. 

Dalam penyalurannya ada yang tepat sasaran, ada pula yang tidak tepat sasaran. Ada yang sebenarnya sangat layak sebagai penerima bantuan tetapi tidak pernah mendapatkan bantuan, namun ada pula yang sesungguhnya sudah tergolong orang yang mampu namun tetap aktif sebagai penerima bantuan hingga bertahun-tahun lamanya. Entah mengapa bisa demikian? Masyarakat pun tak pernah mendapat jawaban yang jelas.  

Hari itu di beberapa desa sedang ada pembagian sembako. Seperti biasa di hari sebelumnya sudah ada surat undangan yang dibagikan oleh Pak RT kepada para warga calon penerima bantuan. Para warga harus sabar mengantre sejak pagi demi mendapatkan sepaket sembako yang memang selalu dinanti-nantikan.

Beda halnya dengan Hardi yang sudah beberapa bulan ia tidak ikut antrean karena tidak mendapat surat panggilan dari perangkat setempat. Hardi adalah seorang disabilitas fisik warga desa tersebut. Dia hidup berdua dengan istrinya, Wanti. Mereka sebelumnya aktif sebagai penerima bantuan, baik yang berupa sembako maupun uang tunai, namun entah kenapa sudah beberapa bulan bahkan hampir setahun mereka sudah tidak mendapatkan lagi.

Awal mulanya Hardi dan Wanti tak terlalu ambil pusing tentang hal bantuan ini,  namun lama kelamaan mereka pun jadi penasaran setelah ada beberapa temannya yang juga mengalami hal yang sama. Bahkan ada yang kondisi ekonominya jauh lebih lemah ketimbang mereka namun justru tak pernah mendapat bantuan sembako maupun bantuan lainnya dari pemerintah.

Hardi menjadi tertarik untuk mencari informasi tentang bagaimanakah sebenarnya mekanisme pendataan dan penyaluran bantuan sosial tersebut, apakah sudah benar-benar sesuai aturan atau belum? Berawal dari informasi yang dia dapat dari media sosial, sebuah website cek bansos kemensos. Hardi iseng-iseng mencoba mengecek data kepunyaan istrinya, dan ternyata hasilnya mengejutkan. Nama istrinya terdaftar sebagai penerima bantuan BLT, padahal sudah beberapa bulan istrinya tidak pernah lagi menerima bantuan tersebut.

Keesokan harinya Hardi datang ke Kantor Desa untuk melaporkan keluhannya mengenai hal bantuan ini. Dia berharap akan mendapatkan jawaban yang bisa dipahami. Kebetulan pagi itu di kantor desa sedang ada acara di ruang aula. Di ruang kantor hanya ada tiga orang yang tersisa termasuk Sekdesnya. Tak menunggu lama Hardi langsung menunjukkan hasil cek bansos di ponsel atas nama istrinya kepada Sekretaris Desa itu. Bapak Sekdes itu kemudian meneliti dengan saksama data dan keterangan yang tertera di situs cek bansos tersebut lalu mengerutkan keningnya sejenak.

"Begini Mas Hardi, terlebih dahulu yang perlu saya sampaikan adalah bahwa data-data penerima bantuan itu sudah dari pusat dan kami pihak desa hanya menjalankan tugas menyalurkan bantuan tersebut sesuai data yang ada. Jadi, tidak ada upaya mereka-reka data. Demikian Mas Hardi mohon ini bisa dipahami." Penjelasan dari Bapak Sekdes panjang lebar.

"Tapi Pak, bukannya data yang dari atas itu menyesuaikan data yang diajukan dari bawah?" Tanya Hardi kritis.
"Tidak Mas, data dari kami mungkin hanya sebatas usulan atau pengajuan saja, yang menyeleksi dan menetapkan masuk kriteria atau tidaknya calon penerima bantuan itu tetap dari atas, tentu melalu proses yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku."
Hardi masih kurang puas dengan apa yang disampaikan oleh Pak Sekdes.

"Lalu bagaimana kalau ada data yang tak sesuai Pak? Apakah pihak desa tak perlu melaporkan ke pihak instansi terkait Pak?"
"Ya tentu saja akan kami koreksi juga Mas kalau memang benar-benar ada kejanggalan, tapi sejauh ini saya kira belum pernah ada."

Pak Sekdes sepertinya sudah mulai tak suka dengan pertanyaan dan bantahan dari Hardi yang seolah kurang mempercayai pihak desa.

"Sudah ya Mas, saya kira apa yang sudah saya sampaikan tadi sudah jelas, dan kami mohon maaf masih ada banyak tugas yang harus saya kerjakan." Pak Sekdes segera berdiri pertanda ingin mengakhiri pertemuan.

Hardi keluar dan meninggalkan kantor desa dengan perasaan kecewa. Hardi yang semula berharap bahwa pihak desa ada upaya untuk membantu, setidak-tidaknya bersedia melaporkan ke pemerintah daerah ataupun ke instansi terkait, siapa tahu memang ada kekeliruan dalam meng-input data. Namun ternyata harapannya hampa, pihak desa seakan tak mau dibikin ribet.

Perjuangan Hardi tak sampai di sini saja, Hardi semakin penasaran dan ingin memperoleh sebuah jawaban dan kebenarannya. Hardi bertekad akan datang langsung ke Kantor Dinas Sosial Kabupaten.

Hardi memang sosok yang keras, dia akan lebih berani kalau diabaikan. Walaupun dia seorang disabilitas yang berasal dari keluarga berlatar belakang pas-pasan dan bukan dari golongan anak berpendidikan namun itu semua sama sekali tak membuatnya minder.

Selang satu hari berikutnya Hardi benar-benar datang ke Kantor Dinas Sosial Kabupaten. Di sana Hardi menyampaikan masalah yang sama seperti apa yang pernah dia laporkan ke pihak desa. Setelah melalui beberapa kali pengecekan ternyata data kartu keluarga Hardi yang baru belum di-upgrade sehingga data yang ada di DTKS masih data yang lama. Kemudian Dinas Sosial berjanji akan membantu menyelesaikan masalah ini.

Informasi yang didapat Hardi dari Dinas Sosial cukup membuatnya lega karena sudah menjawab sebagian dari semua unek-unek yang selama ini mengganjal di otaknya. Namun memunculkan satu pertanyaan baru. Kenapa pula datanya tidak segera di-upgrade? Apa kendalanya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun