Dua bulan setelah Masayoshi Son bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka pada 29 Juli lalu, Softbank, perusahaan investasi yang dibentuk orang Jepang itu, langsung melakukan konsolidasi terhadap investasinya di Indonesia. Setelah berencana menyuntik Grab hingga USD 2,5 miliar, Softbank kini dalam tahap menggabungkan OVO dan DANA, dua entitas bisnis dompet digital yang dimilikinya di Indonesia.
OVO sebelumnya dikuasai oleh Grup Lippo. Namun karena kesulitan likuiditas akibat proyek Meikarta, Lippo kabarnya sudah melepas sahamnya ke Grab Singapura. Sementara DANA dikuasai oleh Softbank lewat jejaring bisnis dengan Emtek Group. Inilah yang membuat layanan DANA digunakan untuk transaksi di Bukalapak, unicorn yang juga dimiliki oleh Emtek.
Di Indonesia SoftBank memang masuk melalui berbagai gergasi bisnisnya. Lewat Alibaba, perusahaan e-commerce Cina, Softbank menguasai Tokopedia lewat jalur Toabao China Holdings. Sementara penguasaan Bukalapak dan DANA dilakukan melalui Ant Financial. Alibaba juga melakukan investasi langsung ke Lazada. Sementara penguasaan Sofbank terhadap OVO dilakukan melalui Grab yang mengambil alih PT Bumi Cakrawala Perkasa yang dulu dimiliki Lippo.
Kembali ke merger OVO-DANA, aliansi ini tentunya menjadi kabar buruk bagi kedaulatan sistem pembayaran Indonesia yang terancam akan dikuasai oleh asing. Dengan sumber dana dari Softbank yang tak terbatas, merger ini tentu bakal mengancam layanan sejenis milik Bank BUMN, lembaga keuangan dan startup-startup lokal  yang baru memulai bisnisnya. Contohnya LinkAja yang baru di konsolidasikan oleh kementerian BUMN dari 4 bank BUMN.
Meski memiliki basis nasabah terbesar di Indonesia, pengguna Linkaja justru kedodoran. Masyarakat yang sudah melek transaksi digital lebih familiar menggunakan Go-pay milik Gojek atau OVO dan DANA milik Softbank tadi. Linkaja yang kalah lincah diyakini akan semakin tenggelam dan dompet digital yang bakal menjadi masa depan sistem pembayaran naisonal akan semakin dikendalikan swasta, termasuk Softbank jika merger OVO-DANA disetujui Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter.
Dengan promosi cashback gila-gilaan, dan tentunya bakar uang puluhan miliar rupiah tiap bulan, OVO-DANA mulai mendapat tempat di konsumen. Apalagi perilaku konsumen Indonesia cenderung pragmatis; memburu diskon yang menguntungkan kantong.
Selain strategi bakar uang dan cashback besar, untuk menguasai pasar, OVO hingga kini masih memonolopoli sistem pembayaran di sejumlah apartemen dan mall  yang dikuasai oleh grup Lippo. Monopoli ini juga sudah masuk dalam radar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) lantaran sangat merugikan konsumen.
Unicorn Indonesia dikuasai Softbank, Impor Barang Membludak
Dengan motto winners take all, Softbank terlihat punya ambisi besar untuk menguasai ekonomi Indonesia. Apalagi nilai investasinya di Alibaba, yang semula hanya USD 20 juta, kini telah berbiak menjadi lebih dari USD 100 miliar sejalan dengn membesarnya raksasa bisnis internet asal Tiongkok itu.
Dengan modal superbesar itu, dan dukungan dari para investornya, termasuk pemodal-pemodal dari Timur Tengah yang kaya raya, Softbank memiliki modal lebih dari cukup untuk "menjajah" ekonomi Indonesia. Sekarang saja dengan menguasai Grab, Bukalapak, Tokopedia, Lazada, OVO dan DANA, penguasaan transaksi E-commerce sudah berada dalam genggaman jejaring Softbank.
Benar juga apa yang dikatakan Pak Prabowo saat kampanye Pilpres terdahulu. Bisnis onlen-onlen itu pada awalnya akan memberi uang kepada perusahaan nasional. Namun ketika perusahaan lokal itu berkembang dan dalam genggaman mereka, saat itulah uang-uang yang ditransaksi dan diproduksi oleh warga negeri ini ditarik ke luar.
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira menilai startup yang didanai asing justru memperparah defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan sekaligus. Startup khususnya yang bergerak di bidang eCommerce, ikut berkontribusi terhadap naiknya impor barang konsumsi.
"Di tahun 2018, impor barang konsumsi naik 22 persen, padahal konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5 persen. Data asosiasi eCommerce menunjukkan kecenderungan 93 persen barang yang dijual di marketplace adalah barang impor. Artinya produk lokal hanya 7 persen," kata Bhima Yudhistira.
Kedaulatan Moneter Tergadai Softbank-Alibaba
Rencana merger OVO-DANA, kini sudah masuk ranah regulator. Otoritas moneter akan menjadi penentu  Softbank menguasai sistem pembayaran di Indonesia bakal terwujud. Kabarnya, tekanan terhadap otoritas moneter untuk segera menyetujui merger OVO-DANA datang dari berbagai penjuru. Termasuk dari orang-orang dekat Presiden Jokowi, yang tentunya bakal ikut mendapat cipratan kue bisnis.
Pertanyaannya, akankah kedaulatan ekonomi dan moneter Indonesia akan digadaikan kepada Softbank?
Salah satu indikator yg digunakan BI dalam menilai kestablian moneter dalam negeri adalah jumlah perputaran uang (velocity of money, yang harus bisa diportret dan diprediksi setiap saat. Namun, merger Dana-Ovo berpotensi membuat bank sentral semakin kehilangan kendali terhadap sistem moneternya sendiri, karena konglomerasi kedua perusahaan ini akan berimbas pada membeludaknya cashback yang jumlahnya tidak dapat dikendalikan atau diprediksi oleh BI.
Sebagai gambaran, jika merger itu terwujud, otoritas moneter akan semakin sulit mendeteksi transaksi riil di sistem pembayaran kita. Salah satunya karena OVO-DANA selama ini terus menebar cashback besar bagi setiap penggunanya.
Masalahnya, dana cashback itu tidak disimpan di float fund. Jika nilai cahsback ini besar, Â katakanlah 50 persen dari nilai transaksi, jumlahnya bisa sangat besar dan bank sentral akan kesulitan memerediksi. Berapa nilai peredaran uang sesungguhnya.
Float fund adalah seluruh nilai uang elektronik yang berada pada penerbit atas hasil penerbitan uang elektronik dan/atau pengisian ulang (top up) yang masih merupakan kewajiban penerbit kepada pengguna atau penyedia barang/jasa.
Itu sebabnya untuk mengontrol transaksi uang elektronik, BI membatasi kepemilikan asing dalam kepemilikan bisnis uang digital. Dimana WNI atau Badan Hukum Indonesia minimal menguasai 51 persen. Namun aturan seperti ini seringkali bisa diakali oleh pelaku usaha. Biasalah karena uang dan pelicin masih berkuasa di negeri ini.
Karena itulah dalam membuat keputusan terkait merger OVO-DANA ini bank sentral sebagai otoritas moneter harus mengaji secara matang dan jauh kedepan. Dan tentu saja harus mengedepankan  kepentingan dan kedaulatan nasional. Jangan hanya karena tergoda dengan investasi besar Softbank dan kroni-kroninya kita menyerahkan masa depan bangsa ini ke negeri Tiongkok.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H