Mohon tunggu...
Agus Arwani
Agus Arwani Mohon Tunggu... Dosen - Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Membaca adalah petualangan tanpa batas yang dijalani dalam diam, menulis adalah ekspresi jiwa yang tercurah dalam kata. Keduanya membentang jembatan antara imajinasi dan realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Ibadah Ramadhan Konteks Makna 'Robbil 'Alamin': Perspektif Bahasa, Fikih, Filsafat dan Tasyawuf (Sufi)

17 Maret 2024   17:30 Diperbarui: 17 Maret 2024   17:39 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Makna 'Rabbil 'Alamin' Perspektif Fikih dalam Konteks Puasa

Dalam Perspektif Fikih, "Rabbil 'Alamin" dihubungkan erat dengan pemahaman dan penerapan hukum syariah dalam praktik puasa. Konsep ini menekankan peran Allah sebagai pemberi hukum dan aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk ibadah puasa. Puasa, yang merupakan salah satu dari Rukun Islam, diatur secara rinci dalam fikih, mulai dari niat, syarat wajib dan sunnah, hingga hal-hal yang membatalkan puasa. Dengan demikian, praktik puasa bukan hanya aktifitas spiritual, tetapi juga tindakan hukum yang berdasar pada petunjuk Allah sebagai "Rabbil 'Alamin".

Fikih mengajarkan bahwa puasa di bulan Ramadhan adalah wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat tertentu, seperti baligh, berakal sehat, dan mampu berpuasa. Ini menggambarkan bagaimana hukum Allah, sebagai "Rabbil 'Alamin", diwujudkan dalam kehidupan praktis umat Islam. Ketentuan-ketentuan ini bukan hanya aturan sembarangan; melainkan merupakan perwujudan dari keadilan dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, di mana setiap aturan diatur untuk keseimbangan dan kemaslahatan umat manusia.

Dalam konteks puasa, fikih juga menangani masalah-masalah kontemporer dan situasi khusus, seperti puasa saat bepergian, sakit, atau dalam kondisi khusus lainnya. Ini menunjukkan bagaimana ajaran Allah sebagai "Rabbil 'Alamin" bersifat dinamis dan responsif terhadap kebutuhan dan situasi beragam umat manusia. Dengan demikian, fikih tidak hanya mengatur tata cara beribadah, tetapi juga menunjukkan kebijaksanaan dan fleksibilitas dalam penerapannya, sesuai dengan kondisi dan kapasitas individu.

Terakhir, dalam Perspektif Fikih, "Rabbil 'Alamin" menegaskan pentingnya kepatuhan dan ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan ibadah puasa. Puasa bukan hanya soal menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga tentang mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ini mencakup aspek moral dan etika, seperti menghindari ghibah (gosip), fitnah, dan perilaku buruk lainnya. Dengan demikian, fikih mengajarkan umat Islam untuk menjalankan puasa tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam pengendalian diri dan perilaku.

Makna 'Rabbil 'Alamin' Perspektif Filsafat dalam Konteks Puasa

Dalam Perspektif Filsafat, pemahaman "Rabbil 'Alamin" dalam konteks puasa dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan metafisik. Konsep ini mengundang umat Islam untuk merenungkan tentang Allah sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, dan bagaimana hubungan ini mempengaruhi pemahaman mereka tentang puasa. Filsafat mengangkat puasa dari sekedar aktifitas ritual menjadi tindakan yang mengandung makna dan tujuan yang lebih dalam, yaitu sebagai cara untuk menyelami hakikat keberadaan manusia di bawah kekuasaan Allah.

Puasa, dalam pandangan filsafat, adalah ekspresi kesadaran manusia akan ketergantungan mereka kepada Allah. Melalui pengalaman menahan lapar dan haus, manusia menyadari kefanaan diri dan kebutuhan mendalam mereka terhadap Allah sebagai "Rabbil 'Alamin". Pengalaman ini mengarahkan kepada pemikiran tentang ketidakberdayaan dan keterbatasan manusia, serta keagungan dan kemurahan Allah yang terus memberikan kehidupan dan rizki kepada makhluk-Nya.

Selanjutnya, puasa mempertanyakan konsep kebebasan dan kehendak manusia. Dalam filsafat Islam, puasa dianggap sebagai latihan kehendak bebas, di mana individu memilih untuk menaati perintah Allah daripada menuruti keinginan fisiknya. Ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kehendak bebas berinteraksi dengan takdir ilahi, dan bagaimana kedua konsep tersebut berperan dalam kehidupan rohani seseorang.

Perspektif Filsafat juga mencakup pemikiran tentang tujuan akhir dari puasa. Dalam hal ini, puasa dianggap sebagai sarana untuk pembersihan jiwa dan pencarian kesucian batin. Filsuf Muslim seperti Al-Ghazali menekankan bahwa puasa adalah lebih dari sekedar menahan diri dari kebutuhan fisik; itu adalah tentang membersihkan jiwa dari kecenderungan negatif dan mendekatkan diri kepada Allah, memungkinkan refleksi yang lebih dalam tentang tujuan hidup dan hubungan manusia dengan penciptanya.

Akhirnya, Perspektif Filsafat mengajak umat Islam untuk memahami puasa sebagai bagian dari siklus alam semesta yang lebih besar, di mana Allah sebagai "Rabbil 'Alamin" mengatur keseimbangan dan harmoni di dalamnya. Puasa, dengan demikian, bukan hanya praktik individu, tetapi juga tindakan yang menyatu dengan ritme universal, mengingatkan umat Islam tentang tempat mereka dalam tatanan kosmik yang lebih luas yang diciptakan dan dipelihara oleh Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun