Mohon tunggu...
Agus Arta Diva Anggara
Agus Arta Diva Anggara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

"write what should not be forgotten"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Trial By The Press oleh Media Indonesia dalam Kasus Kopi Bersianida Jessica Kumala Wongso

5 Oktober 2023   10:22 Diperbarui: 5 Oktober 2023   10:38 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang diduga menggunakan sianida oleh sahabatnya sendiri yaitu Jessica 

Kumala Wongso kembali mendapat perhatian publik setelah di tahun 2016 kasus ini dapat dikatakan sebagai spotlight

 kasus terbesar dalam sejarah media indonesia pada saat itu. Kasus ini kembali ramai dibicarakan publik setelah Netflix 

merilis dokumenter berjudul "Ice Cold : Murder, Coffee and Jessica Wongso."

 POIN-POIN PENTING DALAM DOKUMENTER

Setelah menonton dokumenter yang berdurasi 1 jam 26 menit dokumenter Ice Cold : Murder, Coffee and Jessica 

Wongso yang disutradarai oleh Rob Sixmith kembali membuka banyak tanda tanya besar mengenai kasus penuh 

kontroversi kopi bersianida tersebut. Jika boleh memberikan opini pribadi, saya rasa dokumenter ini menyoroti isu yang

lebih dalam daripada hanya persoalan pihak siapa yang bersalah dan siapa yang harus bebas. Saya melihat bahwa 

dokumenter ini menyoroti bagaimana sistem peradilan di Indonesia sangat buruk dan kasus peradilan Jessica Wongso 

dapat menjadi case study yang cukup baik untuk memotret realita peradilan di Indonesia yang netralitas nya masih sangat dipertanyakan.

 

Ada beberapa poin penting yang menjadi perdebatan publik setelah menonton dokumenter Ice Cold : Murder, Coffee and Jessica Wongso. Berikut poin-poin yang dipertanyakan publik sehingga tidak sedikit yang meminta agar kasus ini dibuka kembali. 

  • Narasi racun sianida saat Mirna pertama kali kejang. Di dalam dokumenter dan juga beberapa video persidangan yang dapat dilihat di kanal Youtube, sianida adalah narasi yang dimunculkan oleh media saat itu sebagai instrumen kejahatan yang dijadikan untuk membunuh Mirna. Pengacara Jessica Otto Hasibuan dalam dokumenter memberikan penjelasan bahwa ada yang janggal dalam persidangan Jessica saat itu dimana jenazah Mirna tidak dilakukan otopsi karena permintaan dari pihak kepolisian padahal dalam berkas perkara terdapat surat legalitas sah dari pihak kepolisian yang meminta rumah sakit agar melakukan autopsi pada jenazah Mirna. Disinilah publik menemukan inkonsistensi dalam peradilan tersebut.
  • Lethal dose pada senyawa sianida yang dapat menyebabkan kematian adalah 50- 176 mg, dosis yang ditemukan pada Mirna setelah 70 menit kematiannya adalah 0 mg dan tiga hari setelah kematiannya 0,2 mg jika berbicara menggunakan data ilmiah dosis ini hampir sama dengan dosis sianida yang terkandung dalam biji apel yaitu 0.6 mg sehingga publik beranggapan bahwa bukti ini kuat untuk membantah narasi sianida yang disoroti oleh media pada saat itu.
  •  Keterbatasan informasi yang diberikan Jessica yang saat ini berada dalam sel tahanan juga menjadi perhatian publik yang sudah menonton dokumenter ini. Dalam dokumenter tersebut Jessica seperti tidak diberikan kebebasan untuk diwawancarai padahal wawancara dengan tahanan adalah hal lazim dilakukan.

Sebenarnya masih banyak poin penting yang dipertanyakan publik mengenai kasus yang mulai mencuat ini, 

bahkan pengacara kondang Indonesia Hotman Paris ikut beberapa kali memberikan opini nya terkait kasus ini melalui

 Tiktok 

Sumber: Dokpri
Sumber: Dokpri

Namun bukan itu yang ingin saya bahas secara mendalam. Melainkan bagaimana realita media saat kasus ini pertama

kali muncul pada tahun 2016 dan menjadi sorotan publik. Saya ingat sekali saat kasus ini menjadi perhatian publik 

seluruh media meliput persidangan yang terjadi sebanyak 32 kali dengan durasi total persidangan sebanyak 289 jam 15 menit. 

Dapat kita bayangkan bagaimana gejolak publik dan media pada saat itu.

 

Sejauh yang saya ingat seluruh siaran televisi pada saat itu menampilkan persidangan Jessica diputar di rumah, warung-warung, 

bak menonton pertandingan final piala dunia. Direktur Pemberitaan MNC Media, Arya Mahendra Sinulingga mengakui bahwa penayangan persidangan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso memperoleh rating tinggi. Tiga stasiun televisi yang kerap kali menayangkan persidangan secara langsung yakni Kompas TV, TV One,

dan I-News. Menurut Arya, kenaikan rating TVnya sampai 15 persen. Biasanya rating program berita paling bagus 7 persen.

Tingginya atensi publik pada kasus ini pada saat itu, media seolah-olah menjadikan kasus ini sebagai komoditas pasar mereka.

 

TRIAL BY THE PRESS

Saya ingat pada saat kasus ini menjadi spotlight publik, media-media di Indonesia seakan-akan memberatkan kasus ini 

pada satu tersangka saja yaitu Jessica Wongso. Seluruh lead berita saat itu seperti menjustifikasi dan memberikan framing

kepada publik yang memberatkan dakwaan Jessica Wongso sebagai tersangka tunggal dalam kasus ini. Pada saat itu kekuatan 

media sosial mempengaruhi opini publik tidak sebesar saat ini jika saya rasa (namun ini hanya asumi masih perlu dilakukan studi empiris untuk membuktikan asumsi itu).


Pada tahun 2016 kekuatan media masih cukup besar dalam membingkai sebuah informasi (framing). Framing 

dalam berita merupakan alat konseptual yang digunakan oleh media untuk menyampaikan, menginterpretasi, 

dan mengevaluasi sebuah informasi. Framing juga digunakan untuk membantu para audiens menemukan,memahami,mengidentifikasi, dan melabel arus informasi disekitar mereka.

Dalam kasus Mirna dan Jessica Wongso media pada saat itu terlihat sangat tidak berimbang dalam memberitakan 

kasus kontroversial ini. Publik seperti dipaksa dalam sebuah bingkai informasi untuk menempatkan Jessica adalah 

pelaku tunggal dari kejadian yang menimpa Mirna setelah meneguk segelas kopi. Dari fenomena tersebut media sangat dapat mempengaruhi apa yang harus publik perhatikan dan apa yang tidak, sehingga muncul apa yang disebut penghakiman oleh media. Trial by the press merupakan proses pemberitaan yang dilakukan oleh media terhadap individu target dan proses trial by the press bisa beragam dari penilaian hasil proses pidana resmi terhadap individu, atau mengejar profil tokoh masyarakat karena telah menyinggung moralitas umum yang disepakati (McLaughlin & greer, 2012).

Pemberitaan media atas suatu perkara hukum ataupun peristiwa kriminal yang terjadi dilapangan merupakan pekerjaan 

dan hak bagi media dan pers sebagai mediator untuk menyampaikan informasi kepada publik. Namun dalam prakteknya tidak jarang implementasi terhadap kewenangan yang dimiliki media atau pers melewati batas sehingga terjadilah praktik trial by the press ini (Budhiman, 2022). 

Munculnya praktik trial by the press secara hukum tentu bertentangan dengan prinsip yang dikenal dalam hukum acara pidana yaitu prinsip praduga tak bersalah (Presumption of innocence)  dimana menempatkan seseorang yang tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. 

Itu lah yang dilakukan media pada saat itu, lead berita dibuat tidak berimbang seperti mendesak publik dan juga pengadilan untuk menempatkan Jessica adalah pelaku tunggal dalam kejadian tersebut. Praktik trial by the press sering kali terjadi ketika pers atau media  dalam mempublikasikan informasinya menggunakan bahasa dan pemilihan diksi yang terkesan menyudutkan salah satu pihak sehingga merangsang publik untuk menyimpulkan dan berspekulasi terhadap seseorang. 

Penelitian yang dilakukan oleh Fariz Altyo, dkk (2017) dengan judul penelitian Trial by the press by the online media in Indonesia on the news of cyanide coffee case case study on the news made by poskotanews.com memperoleh hasil sebagai berikut: 

a. Kecenderungan Judul Berita 

Berdasarkan olahan data yang dilakukan oleh peneliti, judul berita lebih cenderung untuk menyudutkan Jessica Wongso menjadi terdakwa tunggal dalam kasus ini. Dari 133 berita terdapat 83 (62,4%)  judul berita yang menyudutkan Jessica Wongso. Kemudian 28 judul (21,1%) yang mendukung Jessica Wongso, serta 22 Judul (16,5) judul berita yang netral. Apa arti dari data yang ditemukan peneliti terkait judul pemberitaan ini? Pemilihan judul yang menyudutkan Jessica Wongso selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Cohen (1963) sebagai ide spekulatif menggunakan atribut tertentu untuk dapat menonjolkan berita. 

Menyudutkan Jessica Wongso secara langsung ataupun tidak serta merefleksikanya sebagai pelaku pembunuhan pada judul berita, dianggap dapat menarik perhatian pembaca. Kecenderungan lead berita sejalan dengan pemilihan judul berita yang sebagian besar menyudutkan Jessica. Kedua hal ini semakin memperjelas terjadinya Framing terhadap Jessica dalam pemberitaan media. Sebagaimana menurut Perse, proses framing dalam pemberitaan dapat mempengaruhi apa yang dipikirkan pembaca tentang sebuah isu atau persoalan orang lain pada sebuah kejadian.

b. Diksi atau Pilihan Kata dalam Artikel 

 Berdasarkan data yang ditemukan peneliti, pemilihan kata dalam pemberitaan memiliki kecenderungan untuk menyudutkan Jessica Wongso. Sebanyak 78 berita (58,6%) pemberitaan mengenai kasus kopi bersianida menggunakan diksi atau pemilihan kata yang menyudutkan Jessica Wongso, lalu sebanyak 21 artikel berita (15,8%) menggunakan diksi yang mendukung Jessica Wongso, dan 34 artikel (25,6%) pemberitaan menggunakan diksi netral. Perse (2001) menyebutkan bahwa pemilihan kata adalah salah satu faktor yang signifikan dalam melakukan proses framing. Diksi yang dimuat dalam artikel berita adalah alat yang digunakan media untuk menginterpretasi sebuah informasi termasuk pemberitaan mengenai Jessica Wongso. Proses framing juga dapat mempengaruhi apa yang dipikirkan seseorang mengenai sebuah isu, orang lain, dan sebuah kejadian. Penggiringan opini publik yang dilakukan media melalui framing inilah yang menyebabkan terjadinya trial by the press  terhadap Jessica Wongso. 

c. Cover Both Sides Dalam Berita 

Dalam dunia jurnalistik, cover both side adalah unsur penting dalam penulisan berita atau informasi. Sederhananya cover both side artinya proses peliputan suatu berita harus melibatkan dua sudut pandang berlawanan dengan tujuan agar masyarakat atau publik memperoleh informasi yang netral.  Berdasarkan data yang ditemukan peneliti, sebanyak 68 artikel berita (51,1%) pemberitaan tidak memenuhi unsur cover both sides. Hal ini lah yang menjadi indikator penyebab dari kecenderungan yang menyudutkan Jessica Wongso, tidak adanya cover both sides dalam sebuah pemberitaan menjadikan berita itu tidak berimbang dan memicu terjadinya penghakiman oleh media yang berbentuk pengadilan opini publik terhadap Jessica Wongso.

Melihat beberapa temuan data ini dapat kita rasakan bagaimana kode etik jurnalistik luput dari perhatian pers dan juga media saat itu karena mengejar komoditas share dan rating yang cukup tinggi terkait kasus ini. 

Hal ini cukup membuat publik pada saat itu menyudutkan pengadilan dan kepolisian untuk menetapkan Jessica Wongso sebagai pelaku tunggal, bahkan sebelum proses pengadilan selesai. Seolah-olah apa yang dilakukan bukan untuk mencari penyebab kematian Mirna melainkan bagaimana cara agar Jessica Wongso bersalah sehingga publik puas dengan hasil akhir yang berharap Jessica dihukum  sebagai dampak dari pemaparan informasi media yang telah di-framing tadi. 

Hal ini tentu menjadi beban moral bagi penyidik dan pengadilan, desakan-desakan publik saat itu yang dipengaruhi oleh framing media untuk bisa memuaskan narasi-narasi tak berimbang media dan juga opini publik yang telah dibentuk oleh media itu sendiri, sehingga apa yang saya tangkap fokus dari persidangan bukan mengulik penyebab kematian Mirna melainkan semua lapisan masyarakat beraliansi untuk menjatuhkan Jessica Wongso ke dalam sel tahanan atas dasar praduga dan asumsi. 

Jika melihat instrumen kejahatan ( dalam hal ini racun sianida) pelaku pembunuhan yang menggunakan racun biasanya akan mengambil jarak dengan korban, mereka tidak ingin melakukan serangan frontal terhadap korbannya. Lalu mengapa kemudian kita semua seolah-olah menyoroti Jessica Wongso sebagai pelaku. Mengapa terus-menerus kita memusatkan perhatian kepada Jessica Wongso. Hal ini adalah kesesatan berpikir yang disebabkan oleh trial by the press oleh media sehingga menyebabkan bias kognitif dari banyaknya pemberitaan tak berimbang tadi. 

Kejahatan dapat terjadi melalui tiga unsur yaitu didalamnya ada korban, pelaku, dan lokasi. Kesesatan berpikir yang dimaksud akibat dari trial by the press adalah karena korban (Mirna) ada di meja coffee shop itu, dan karena lokasi kejang ada di meja itu maka seolah-olah pelaku juga harus ada di meja (lokasi itu). 

Padahal jika melihat logika pelaku pembunuhan menggunakan racun biasanya pelaku ingin mengambil jarak dengan korban. Bagaimanapun lokasi ada di meja tersebut dan korban jatuh di meja tersebut sangat dangkal jika berpikir pelaku juga ada di meja tersebut. 

Narasi tidak berimbang media memunculkan kecacatan berpikir ini sehingga kasus ini menekan publik, kepolisian, dan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman kepada Jessica Wongso bukan mencari penyebab kematian yang sebenarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun